Women at Point Zero



PEREMPUAN DI TITIK NOL (Women at Point Zero)

Penulis: Nawal el Saadawi
Pengantar: Mochtar Lubis
Penerbit: Yayasan Obor Indonesia
Cetakan 9
xiv+156 halaman : 11x17 cm
Di terjemahkan oleh: Amir Sutaarga

Tentang penulis:
Nawal el Saadawi adalah seorang dokter bangsa Mesir. Ia terkenal sebagai penulis feminis dari Mesir dengan reputasi internasional. Ia dilahirkan di sebuah desa bernama Kafr Tahla di tepi sungai Nil, ia memulai prakteknya di daerah pedesaan, kemudian di rumah sakit-rumah sakit di Kairo, dan terakhir menjadi seorang Direktur Kesehatan Masyarakat Mesir. Tahun 1972, sebagai akibat diterbitkannya buku nonfiksinya yang pertama, Women and Sex, ia dibebastugaskan dari jabatannya sebagai direktur dan juga sebagai pemimpin Redaksi Majalah Health. Namun ia tetap melanjutkan menerbitkan buku-bukunya tentang status, psikologi dan seksualitas wanita. The Hidden Face of Eve adalah bukunya yang pertama diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris. Karya-karyanya antara lain: Women and Sex, Women and Psychological Conflict(buku-buku mengenai wanita); The Chant of the Children Circle, Two Women in Love, God Dies by the Nile, Memories of a Lady Doctor (novel), A Moment of Truth, Little Sympathy (Cerita Pendek).

Buku yang Keras dan Pedas
 
Kalimat itulah yang pertama kali membuat saya tergugah untuk membaca buku ini lebih lanjut. Saya pertama kali mendapati buku ini di perpustakaan dimana saya tengah menunutut ilmu, yakni perpustakaan STFI SADRA. Buku ini secara tidak sengaja saya baca ketika sedang mencari-cari novel yang berbobot guna memenuhi aktivitas membaca saya dan saya pun langsung tertuju untuk membaca buku ini.

Novel mini ini bercerita tentang salah satu wanita penghuni penjara Qanatir, bernama Firdaus yang tengah menunggu pelaksanaan hukuman matinya. Dia telah membunuh seorang lelaki sebagai puncak dari rasa putus asanya ke pojok yang paling kelam. Wanita ini, sekalipun muak dan putus asa, telah menghidupkan dalam hatinya untuk menantang dan melawan kekuatan-kekuatan tertentu yang telah merampas hak manusia untuk hidup, untuk bercinta dan menikmati kebebasan yang nyata. Dia bahkan dengan tegas menolak grasi kepada presiden yang diusulkan oleh dokter penjara. Menurutnya, vonis mati itu justru merupakan satu-satunya jalan menuju kebebasan sejati. Ironis. Dia sangat membenci dan mengutuk semua lelaki. Sedari kecil ia telah dinodai oleh teman lelakinya yang bernama Mohammadain. Di lingkungannya, ia hanya melihat dan merasakan perempuan tak ubahnya seorang budak, pelayan dan alat pemuas nafsu lelaki, tidak lebih. Setiap hari ia selalu melihat hidupnya dan ibunya yang diharuskan taat patuh kepada sang ayah dan tidak jarang mereka mendapat kekerasan bila sedikit saja melanggar apa yang telah berlaku. Setelah ayah Firdaus meninggal, ia dimasukkan ke Sekolah Dasar dan setelah ibunya meninggal, Firdaus dibawa ke Kairo oleh pamannya. Selama ia tinggal, sang paman kerap kali menidurinya. Lambat laun istri pamannya mulai keberatan dan mengusulkan agar Firdaus dinikahkan dengan seorang tua yang bernama Syekh Mahmoud dengan argument bahwa dengan menjadi istri seorang tua yang sukses, itu akan sangat membantu Firdaus dalam kehidupannya dan berhenti bergantung kepada mereka. Menikahlah Firdaus dengan Syekh Mahmoud yang berumur lebih dari 60 tahun sedangkan dirinya belum mencapai usia 19 tahun. Dalam rumah tangga itu, ia kerap mendapatkan kekerasan fisik dan tekanan. Akhirnya Firdaus pun diketemukan dengan seirang pelayan warung kopi bernama Bayoumi.

Dengan Bayoumi, ia merasa dipedulikan. Namun setelah lama, ia lebih kejam dari laki-laki sebelumnya. Ia juga mengundang kawannya untuk menikmati tubuh Firdaus. Ia pun terhempas kembali ke jalanan. Bertemulah ia dengan wanita paruh baya yang bernama Sharifa Salah el Dine. Ditangan Sharifa, Firdaus berubah menjadi wanita yang luar bisa cantik. Sharifa banyak memberi nasehat bahwa kita sebagai wanita jangan pernah mau dibayar murah, sadarkan diri bahwa kita para wanita harus mematok harga tinggi untuk “kupu-kupu malam” kelas atas. Firdaus tidak segan mematok tubuhnya dengan harga yang cukup tinggi. Dalam waktu yang relatif singkat, ia mampu membeli apartemen, pelayan pribadi dan banyak memiliki waktu kosong. Ia juga berkawan dengan banyak manusia umumnya yang berteman saat berada pada puncak kejayaan. Firdaus lebih memilih berteman dengan Di’aa yang seorang wartawan.

Pada suatu malam Di’aa berkata dan perkataan itu membuat hidup Firdaus resah dibuatnya, gelisah dan teringat disetiap waktu. Dua kata itu adalah “tak terhormat”. Sejak saat itu, ia tidak lagi bisa menikmati semua kemewahan yang ada disekelilingnya. Ia hanya terngiang pada dua kata itu.

Firdaus akhirnya memutuskan berhenti dari pekerjaan nista itu. Ia bertekad untuk bekerja pada jalan yang benar. Setelah berbagi usaha ia tempuh, akhirnya Firdaus memperoleh suatu pekerjaan pada salah satu perusahaan industry besar dengan gaji yang amat kecil. Di perusahaan ia bertemu Ibrahim, seorang lelaki yang membuatnya jatuh cinta. Firdaus merasa sangat tersakiti dan menderita ketika mengetahui Ibrahim bertunangan dengan seorang gadis. Dengan kejadian itu, ia pun kembali berpikir bahwa seorang pelacur yang sukses lebih baik daripada seorang suci yang sesat. Citra dapat dibeli dengan uang. Dengan menyumbang kepada sebuah perkumpulan sosial, dengan mudah gambarnya tersebar ditengah masyarakat sejalan dengan pujian-pujian dan sanjungan-sanjungan yang dilontarkan. Dan pada akhirnya ia dipertemuakn denagn seorang germo yang bernama Marzouk.

Pada suatu malam, tragedi pembunuhan itu terjadi tanpa direncanakan. Firdaus hanya ingin melindungi diri dari serangan germo. Namun tangan Firdaus lebih cepat menangkap pisau yang sedari tadi berada digenggaman Marzouk. Dengan ringan ia tancapkan pisau itu dalam-dalam keleher si germo, kemudian mencabutnya. Menusukkan juga ke bagian dada dan menusukkan pula pisau itu dalam-dalam ke perut korban. Ia tusukkan pisau itu hampir ke semua bagian tubuh. Ia begitu mudah dan ringan melakukan itu, padahal ia belum pernah melakukan perbuatan jahanam seperti itu.

Digiringlah Firdaus ke penjara untuk dihukum. Ia diberi pilihan untuk diberi grasi dari presiden namun ia menolaknya. Ia sudah tidak lagi takut mati, justru kematianlah yang ia tunggu-itu. Ia juga akan segera terbebas dari kejamnya kehidupan dunia menuju kehidupan penuh kedamaian di alam baka melalui kematian tersebut.

Selama membaca novel ini, terutama saya sebagai perempuan sungguh sangat merasa tersakiti, direndahkan karena tak ubahnya hanya sebatas barang yang dengan mudah berpindah dari pelukan satu lelaki ke pelukan lelaki lain. Saya geram, kesal, marah, kecewa, iba, merasa tercabik-cabik dan berbagai perasaan lain campur aduk dalam benak saya, menyelami kisah Firdaus yang kelam begitu keras dan kejam.

Sebagai perempuan, saya berharap hal-hal demikian tidak lagi terjadi dan terulang kembali. Karena pada dasarnya, perempuan dan lelaki itu tercipta bukan untuk saling mengungguli satu dengan yang lain, bukan untuk melayani atau berada lebih di atas antara satu denagn yang lain, namun mereka tercipta sama-sama mulia dan seharusnya berjalan beriringan saling melengkapi. Bukan untuk saling menguasai satu dengan yang lain.

Semoga dengan membaca buku Nawal el Saadawi yang dahsyat ini, baik perempuan maupun lelaki Indonesia tergerak hati dan pikirannya untuk memikirkan kembali dengan penuh keterbuakaan berbagai kekurangan dan ketidakadilan yang masih menimpa hak-hak dan kedudukan perempuan Indonesia dalam masyarakat kita sekarang. Sekian, semoga bermanfaat. Terima kasih.

Komentar

Postingan Populer