Mantra Sakti Penyala Api Semangat
MANTRA SAKTI PENYALA API
SEMANGAT
Awal ketertarikan saya
untuk membaca novel ini adalah judul yang cukup membuat rasa ingin tahu muncul
dan bertanya-tanya apa maksud dari Negeri 5 menara itu. Di samping
itu, sinopsis dibagian belakang buku pun cukup menarik. Terlebih lagi
komentar-komentar para tokoh atau yang biasa disebut endorsemen sangat
memukau dan membuat para penikmat buku-buku motivasi pasti ingin membacanya.
Itulah daya pikat buku ini jika ditinjau dari segi fisik.
Man jadda wajada: sepotong kata asing
ini bak mantera ajaib yang ampuh bekerja. Dalam hitungan beberapa helaan napas
saja, kami bagai tersengat ribuan tawon. Kami, tiga puluh anak tanggung,
menjerit balik, tidak mau kalah kencang. “man jadda wajada!”
Itulah sedikit kalimat
yang saya ambil dari sebuah novel inspirasi kisah nyata yang ditulis oleh
A.Fuadi berjudul Negeri 5 Menara. Diantara kalimat lain, selain merasa sangat
tergugah dan terpikat oleh kelihaian penulis dalam memilih kata-kata
sehingga menjadi kalimat yang begitu indah untuk dibaca, saya juga terpikat
pada makna kalimat yang disampaikan. “Man jadda wajada” itulah
sebuah kata mutiara yang sudah tidak asing lagi ditelinga kalangan pelajar pada
umumnya. Kata mutiara itu mempunyai arti “siapa yang bersungguh-sungguh, akan
berhasil”. Bukan yang paling tajam yang akan mampu mematahkan sebilah kayu
besar namun yang paling bersunguh-sungguhlah yang akan mampu mematahkannya. Di
sini tersirat dengan jelas bahwasannya dalam menuntut ilmu khususnya,
keberhasilan bukan menghampiri orang-orang yang sudah pintar, namun suatu
keberhasilan akan menyapa lebih kepada mereka yang bersungguh-sunguh dalam belajar.
Sewaktu membaca novel pertama dari trilogi ini pun saya tergugah dengan
semangat luar biasa yang ditunjukkan oleh sang ustad dan para santri yang ada
saat itu. Saya merasa terbakar dengan kalimat itu, semangat ini kembali
menyala-nyala bagai api yang melahap setumpuk kayu kering yang ada dipadang
gersang nan tandus.
Berawal dari keterpaksaan
dan lebih kepada menuruti keinginan orangtua, akhirnya Alif-tokoh utama dalam
novel ini, rela melanjutkan pendidikannya di Pondok Madani yang sebelumnya ia
tak ingin belajar ditempat tersebut. Setelah ia datang dan dinyatakan lulus
untuk menuntut ilmu ditempat itu, perlahan namun pasti akhirnya memiliki 6
orang teman termasuk dirinya. Dari situlah pertemanan mereka mulai terbingkai
dengan indah. Mereka adalah Raja dari Medan, Said dari Surabaya, Dulmajid dari
Sumenep, Atang dari Bandung, Baso dari Gowa dan yang terakhir Alif dari
Minangkabau. Masing-masing mereka mempunyai impian yang berbeda-beda akan
negara dan benua yang ingin mereka kunjungi.
Tiap hari usai pelajaran,
mereka selalu berkumpul untuk membicarakan banyak hal. bercerita tentang
impian-impian, membahas pelajaran-pelajaran yang baru saja dipelajari sambil
ditemani kacang sukro sebagai cemilannya. Namun karena tempat yang kurang
nyaman, akhirnya mereka memutuskan untuk mencari tempat berkumpul khusus agar
tidak terganggu lalu lalang orang lewat. Salah satu dari mereka akhirnya
memberi ide bahwa tempat itu adalah kaki menara masjid yang ada di pondok
tersebut. Saking seringnya bekumpul dibawah menara, mereka dijuluki dengan
Sahibul Menara. Mereka melihat masing-masing benua dan pulau yang diimpikan.
Nilai yang saya dapat
dari membaca novel ini adalah selain menumbuhkan semangat membara yang
menggebu-gebu, saya juga menyadari bahwasannya kita belajar harus didasari
dengan keikhlasan dan kesungguhan yang baik.
Mungkin sebagian
besar dari kami semua yang tengah belajar di Sadra ini bukan berdasarkan
pilihan namun lebih kepada banyak factor yang membuat kita terpaksa belajar
ditempat ini. Mayoritas kami, saya terutama berada di sini adalah karena adanya
sebuah faktor ekonomi sehingga saya terdampar di Sekolah Tinggi ini berbekal
kemampuan yang saya miliki. Saya sebenarnya manusia yang mampu untuk memilih
namun apa daya karena disini menawarkan beasiswa penuh dan jarang sekali orang
bisa mendapatkan kesempatan langka ini dan lagi-lagi factor utama itu adalah
keadaan ekonomi yang kurang mampu dan saya tetap menginginkan untuk bersekolah
atau menuntut ilmu. Ini bukan impian saya, bukan impian banyak mahasiswa dan mahasiswi
lainnya, saya ingin menjadi dokter, bukan menjadi seorang mufasir atau seorang
filofof. Demikian juga dengan teman-teman saya yang lain yang sama berada
ditempat ini sebagian dari kami memilki nasib yang sama, berjalan ditempat yang
tidak sesuai dengan yang kami impikan.
Namun setelah membaca
novel ini, saya menjadi sadar, bahwasannya tidak selama yang kita inginkan itu
adalah baik untuki kita. Kita memang diberi keleluasaan memilih namun semua
yang terjadi kembali lagi atas kehendak-Nya, kehendak yang Maha Kuasa karena
memang hanya Dia yang tahu yang terbaik untuk hamba-Nya. Awalnya memang
terpaksa, namun dengan membaca novel ini saya diajarkan betapa pentingnya
menerima apa yang tidak sesuai dengan keinginan, belajar dengan sungguh-sungguh
sekalipun bukan ditempat yang diimpikan, namun dibalik semua itu, berbekal
keyakinan dan kesungguhan yang benar, kita akhirnya akan menjadi orang yang
berhasil juga bukan karena tempat ataupun pengajar dan sebagainya, melainkan
karena kesungguhan yang ada dalam diri kita selama prosese menuntut ilmu,
dimanapun itu. Terima kasih.
Komentar
Posting Komentar