Butet Manurung



BUTET MANURUNG: Kartini era kini

Butet Manurung. Sebagian dari kita mungkin ada yang mengetahui banyak sedikit tentang siapa dia. Namun tidak sedikit pula yang sama sekali tidak pernah mendengar nama tersebut. Dia adalah seorang wanita yang merupakan pendiri sekaligus Direktur SOKOLA-Literasi dan Advokasi untuk Masyarakat Adat Indonesia. Ia berasal dari dari Batak, namun lahir dan tinggal di Jakarta yang kemudian setelah dewasa ia bekerja keluar-masuk hutan sebagai seorang volunteer mengajar anak rimba.
“Kekayaan batin akan senantiasa membuat kita bergairah. namun, tentu gairah akan berlipat ganda kalau kita bisa memberi manfaat bagi orang lain”
“Tidak perlu bermimpi menyelamatkan bumi karena itu tugas Superman dan James Bond. Tak juga harus baik hati selemah Cinderlla yang mengharap uluran Ibu Peri karena yang kita perlukan justru kekuatan dan keberanian. Tidak juga sibuk cari pengakuan atas yang kita lakukan karena yang kita cari adalah penghargaan kita terhadap diri sendiri”
Serangkaian kutipan kalimat di atas cukup menarik bagi saya. 
Bahwa memang benar kekayaan batin akan membuat batin orang yang bersangkutan lebih bergairah dan bahagia. Namun lebih daripada itu, dengan kita menebar manfaat kepada sesama, itu akan melipat gandakan kebahagiaan tersebut. Kita harus sadar betul tujuan kita dicipta oleh Tuhan adalah sebagai pengabdi dan khalifah bumi. Kita terlahir untuk dapat memberi manfaat kepada sekitar, sesama dan alam. tidak serta merta Tuhan menciptakan kita begitu saja tanpa maksud dan tujuan besar. Lantas dengan apa kita mensyukuri nikmat agung itu semua? yakni dengan cara menyadarkan diri bahwa kita ini begitu berharga, berarti, bermanfaat dan mempunyai sesuatu sehingga semua itu akan berguna bagi suatu motivasi atau dorongan agar kita senantiasa memberi manfaat melalui segala daya, kreativitas dan potensi yang kita miliki. Itulah guna kita menghargai diri sendiri bahwa kita tercipta untuk mengabdi dan menebar manfaat kepada orang lain.
Saya cukup terpesona oleh pemikiran saudari kita ini Butet Manurung. Dia begitu gigih terhadap apa yang ia lakukan sebagai volunteer mengajar anak-anak rimba denagn begitu banyak pertanyaan sinis yang menghampirinnya setiap hari. Bagi saya, ia adalah salah satu pelopor pergerakan atau bisa juga disebut sebagai Kartini era kini. Mengapa demikian? seperti yang kita ketahui R.A Kartini adalah sosok perempuan yang berani. Begitu juga dengan Butet, ia adalah sosok wanita pemberani. Berani mengambil langkah berbeda dari kebanyakan wanita pada umumnya saat itu. Ia lebih memilih menjadi seorang volunteer yang notabenenya tidak ada sama sekali yang dapat diperoleh dari pekerjaan sebagai volunteer. Namun lain hal baginya. Bagi Butet, apapun pekerjaan itu, semua harus dimulai dari menghargai diri sendiri. Dengan menghargai diri sendiri dan sadar akan potensi diri, di situlah kita akan menemukan banyak hal menarik dan berguna.
Alangkah picik pemikiran orang-orang pasda zaman ini, bahwa pendidikan lebih kepada orientasi pekerjaan masa depan. Sistem pendidikan dibuat untuk menghasilkan tenaga kerja untuk kepentingan industri semata. Dikira masa depan bisa disogok dan disuap dengan setumpuk uang yang telah kita keluarkan selama bangku sekolah? Tidak. sama sekali tidaklah demikian! Penentu masa depan kita adalah diri kita sendiri. Bukan yang lain, apalagi itu hanya setumpuk uang yang cukup besar nominalnya. Orang seperti Butet ini adalah salah satu orang yang sadar betul akan hakikat dari sebuah pendidikan. Berani berbeda dengan pemikiran kebanyakan orang. Berbahgia dengan cara menebar manfaat kepada sesama dan tidak mudah goyah oleh terpaan angin yang menerpa.
Tentu setiap kepala memiliki otoritas sepenuhnya dalam mengendalikan pikiran-pikiran yang bergelayut diotaknya. Sehingga pemikiran yang berbeda-beda antara yang satu dengan yang lain pasti terjadi. Segala hal sudah pasti tidak lepas dari pro dan kontra. Begitu pula dengan pemikiran Butet yang demikian.
Terakhir, pada intinya kita perlu menghargai hidup yang hanya sekali ini. Bayangkan jika usia semakin menua, mendekati babak-babak akhir, tiba-tiba kita tersadar di dalam sepinya hari-hari tua bahwa hidup kita selama ini kosong tak bermakna. Kita belum melakukan sesuatu apapun yang bernilai untuk menghargai hidup kita yang hanya sekali ini. Sekian. Semoga Bermanfaat.   

Komentar

Postingan Populer