Cerita Anyer



25 Feb. 16 pukul 16.21
Perkenalkan nama saya Alfiyah, saya adalah mahasiswi STFI Sadra Jakarta semester 4. Saya ingin bercerita tentang pengalaman saya berlibur ke Pantai Anyer beberapa waktu yang lalu. Tepatnya tanggal 13-14 Februari 2016. Kami, AZ 14 mengadakan liburan pada akhirnya setelah sekian lama terkatung-katung tanpa kepastian yang jelas kapan kami akan mendapat kesempatan untuk berlibur bersama. Berangkat pada hari sabtu pagi, pukul 08 kurang. Bus kami pun meluncur menuju tempat tujuan, Pantai Anyer, Banten. Dengan riang gembira kami menyanyi-nyanyi bersama tanpa lupa berdoa dulu sebelumnya. Kami sampai di Pantai Anyer, Banten pukul 11’an. Sehingga waktu itu dapat kami manfaatkan untuk beristirahat sebentar, shalat dan makan. Tidak lama setelah itu, kami pun meluncur menuju pantai. Masih agak segan untuk menceburkan badan seluruhnya. Akhirnya saya dan teman-teman hanya bermain-min air dipinggir-pinggir pantai dan menulis-nulis pasir memakai tongkat kecil yang banyak berserakan di  tepi pantai. Dan tentu saja tak lupa foto-foto dengan teman-teman dan berselfie ria J. Setelah adzan asar berkumandang, kami pun mengantri untuk mandi sore. Saya tipe orang yang malas untuk mengantri, oleh karena itu saya pun mencari tempat pemandian umum dan di situlah saya dan teman saya Emil, akhirnya mandi dengan membayar Rp.3000 per orang.  Malam harinya, sebagian besar teman-teman melakukan sholat maghrib berjama’ah tepat menghadap pantai langsung. Mengingat tempat yang kurang cukup untuk menampung kami dalam shalat berjamaah, sebagian dari kami pun akhirnya shalat di kamar masing-masing. Setelah itu, kami melakukan doa bersama, pengarahan dari pembina mengenai acara kami dan diakhiri dengan makan cemilan-cemilan ringan yang disediakan.
Setelah shalat isya, kami diberi waktu istirahat hingga pukul 21:00 untuk mencari makan malam masing-masing. Karena sesuai kesepakatan bersama, uang makan kami diuangkan. Kami mendapat uang 30.000 untuk makan malam itu dan keesokan harinya untuk sarapan. Saya dan teman-teman sedang badmood untuk makan nasi. Oleh karena itu, kami pun berusaha mencari-cari tempat makan yang bukan menjual nasi. Ternyata setelah berjalan dan bolak-balik cukup lama, kami tak menemukan juga. Jalanan di sekitar tempat wisata tersebut sepi, gelap dan serasa malam jum’at. Super sunyi sepi sekali. Padahal itu adalah daerah yang dekat dari tempat wisata namun seperti itulah keadaan yang kami lihat. Melihat kebingungan kami, akhirnya Andri si Ketua angkatan merelakan dirinya untuk menyusuri sepanjang jalan hingga berharap benar-benar dapat menemukan tempat yang kami inginkan. Entah itu tempat orang jualan bakso atau mie ayam atau apalah yang penting itu bukan nasi. Setelah menunggu untuk waktu yang cukup lama, akhirnya Andri menemukan tempat itu dan kami mengikutinya dibelakang. Saya kira dekat atau setidaknya tidak terlalu jauh. Ternyata......................................................tempat terdekat yang dapat Andri temukan itu bagaikan jarak kampus kami dengan asrama. Demi memenuhi hasrat ingin makan bakso atau mie ayam, kami pun mengikutinya sampai tiba ditempat. Saya, Halimah, Kak Iis, Fauziyah, Emil, Sholihah, Iin (adik ipar kak Dian) dan Andri tentunya berjalan sejauh itu. Ya itung-itung olahraga sebelum makan.J. Berjalan cukup jauh dalam keadaan lapar itu rasanya ingin cepat-cepat menyantap makanan yang ada saat itu. Langsung saja kami memesan mie ayam dan bakso. Abang tukang bakso ini mungkin masih baru atau sebut saja amtiran ngelayanin pesanan kami dalam waktu yang cukup lama. Kami hanya bisa menggerutu dan mengobrol-ngobrol ringan. Waktu kita menyantap hidangan tersebut lebih cepat dibanding proses abang-abang membuatkannya. Setelah kenyang, kami pun berlanjut untuk kembali ke tempat kami untuk meneruskan acara selanjutnya. Yakni pensi atau pentas seni. Kami berjalan kembali dan sampai dilokasi pukul 21.00 lebih beberapa menit. Pensi itu dipandu oleh dua kawan kami yang bertindak sebagai MC, yaitu Alwi (Bogor) dan Mira (Putri dari Lombok). Kami bernyanyi bersama, lalu dilanjut dengan pembacaan puisi dari saudara Al-Ghazali (Sulawesi). Setelah itu disambung dengan puisi berantai kocak yang dibawakan oleh Soleha (Lubuk linggau), Selvi (Cirebon, satu kota dengan saya), Saudi (Mojang Madiun) dan Kiki (Si Manis dari ujung Timur, Papua). Meski sebagian percakapan sudah saya ketahui, namun tetap saja saya tertawa saat ada kalimat-kalimat yang menggelitik. Karena memang puisi berantai yang mereka persembahkan bertemakan humor. Kegembiraan terpancar sekali dari wajah-wajah malam itu. Menikmati malam minggu dengan seluruh teman satu angkatan sembari mendengar deburan ombak pantai Anyer ditambah penampilan-penampilan teman-teman yang bersemangat, membuat kami cukup merasa bahagia malam itu meski tak dapat saya pungkiri, saya merindukannya. Selalu merindunya. Setelah itu, kami mendengar lantunan-lantunan lagu yang dibawakan oleh teman-teman dari pihak laki-laki dan saat ada lagu yang kami hafal, kami ikut bernyanyi bersama-sama. Beberapa lagu telah selesai dinyanyikan. Dan semua kebersamaan itu harus kami akhiri dengan ditutup dengan penampilan teater yang sebagai tokoh utamanya adalah Adiansyah (Si Multitalent dari Sumbawa). Dia memang jago berakting, melukis dan mengedit-edit foto. Dia juga sempat jadi juara tilawah Qur’an dikampus kami dan masuk juga dalam lomba tilawah nasional. Dengan bertemakan “pencarian sejati seorang anak manusia” yang menurut kami itu adalah sebuah cerita yang sangat filosofis. Maklumlah, kami kan anak filsafat. J
Dengan dikemas secara mearik, nampak serius, sedikit lucu dan penuh arti. Itulah teater yang kami saksikan di pantai Anyer malam itu. Akhirnya, sebagai yang benar-benar terakhir, kami pun menyanyikan kembali lagu yang sudah tidak asing lagi ditelinga, yaitu lagu yang berjudul “Mungkinkah”. Mungkinkah.... kita kan slalu bersama, walau terbentang jarak antara kita... biarkan ku peluk erat bayangmu, tuk melepaskan smua kerinduanku... na na na na....... saya  yakin kalian pun pasti hafal akan lagu tersebut. Saat menyanyikan lagu itu, hati kecilku berkata, Tuhan, mengapa semua ini begitu cepat berlalu? Mengapa waktu begitu cepat bergulir? Mengapa kebersamaan seperti ini rasanya seperti sedetik saja? Kami di Sadra ini ternyata hampir mencapai 50% atau setengah dari perjalanan menuntut ilmu di Ibukota ini. Ya, kami hampir 2 tahun hidup bersama disuatu tempat yang disebut asrama. Tentang hidup di asrama, tentunya penuh dengan suka duka yang bila diceritakan akan menghabiskan berlembar-lembar cerita yang berkesan. Saya, dan mungkin teman-teman lain pun merasakan hal yang sama. Baru kemarin kami lulus melepas seragam putih abu-abu itu dengan segala kenangan pahit manisnya masa abu-abu itu. Entahlah, hidup ini begitu cepat rasanya. Makna yang kami dapat dalam perjalanan hidup terasa terlalu terburu-buru untuk disudahi. Akhirnya setelah lagu itu selesai dilantunkan bersama, kami menuju kamar masing-masing untuk tidur, istirahat karena jadwal esok hari sudah menanti kami.
Saya dan teman-teman tidur. Meski kami kepanasan, namun kami tetap bisa tidur dengan lelap hingga waktu subuh membangun kami untuk bangun dan menunaikan shalat. Setelah itu, mie instan saya seduh karena pagi itu saya merasa lapar. Berniat untuk menikmati sarapan itu sambil menanti sunrise datang, akhirnya saya bawa sarapan itu menuju pantai. Dan ternyata Emil melakukan hal yang sama dengan saya dan kami pun menuju pantai bersama-sama dengan menenteng sarapan kami masing-masing. Ternyata kami mendapati Zulfi dan Halimah lebih dulu ada dipantai sedang bermain-main pasir dan foto-foto. Saya dan Emil menyantap sarapan pagi itu ditemani deburan ombak pantai yang indah dan cuaca yang begitu bersahabat. Dipandu oleh Irfan, pemuda Papua, Nova (Gadis Pantura, Cirebon tepatnya) dan Rani (Mojang Bengkulu) berlomba lari dipinggiran pantai dengan jarak yang telah ditentukan, dan siapa pun yang kalah harus mentraktir yang menang dan Rani lah pemenangnya. Sunrise yang kami tunggu tak kunjung datang, karena ternyata kami menghadap arah barat. Pantai kami berada disebelah barat. Meski gagal melihat sunrise pagi itu, tapi tak mengurangi kehangatan pagi itu. Iam happy. “Hmm... begitu indahnya ciptaan Tuhan ini dan saya merasa senang namun ada satu yang kurang.” Tutur saya tiba-tiba. “Apa itu?”  Emil bertanya. “Ya,, semua ini sungguh indah namun akan lebih indah ketika orang yang kita sayang ada disamping kita sekarang” balas saya. Lamunan saya mengarah ke satu sosok itu.
Waktu semakin siang, dan sekitar jam 7’an kami melakukan olahraga-olahraga ringan sebelum kami benar-benar masuk pantai untuk menikmati deburan ombak laut hari itu. Di pimpin oleh Ahmad Ulinnuha dan Dede Jeri kami pun mengikuti gerakan-gerakan ringan olahraga itu. Selesai melakukan olahraga, saya dan teman-teman meluncur ke pantai. Berfoto, menulis-nulis di pasir, main bola bersama, dan main air tentunya. Main air dengan begitu bebasnya, kami rasakan di sini, di pantai ini. Kami senang. Dan untuk waktu yang bertambah siang, kami telah dijadwalkan untuk menaiki banana boat. Dan itulah kali pertama saya menaiki banana boat. Kelompok saya sangat sabar. Bagaimana tidak, dari begitu banyak teman-teman yang ikut berselancar, kami sabar menunggu hingga akhir sambil  bermain-main pasir dipinggiran pantai ditemani oleh hangatnya mentari siang itu. Saat giliran kelompok saya, saya tidak tahu mengapa mendadak ciut nyali dan saya tidak mau untuk menaikinya. Saya lepas pelampung itu dan bersikeras tidak mau naik. Entah mengapa pikiran saya tiba-tiba membayangkan hal-hal yang tidak mengenakkan terjadi. Saya takut. Di situ banyak teman laki-laki yang membujuk saya untuk tidak takut dan mau menaiki banana boat itu. Ditarik oleh Andri, Sukiman, Imandega dan Iwan akhirnya saya pun dengan terpaksa ikut juga menaiki banana itu. Mereka berjanji bahwa tidak akan ada terjadi apa-apa dan semuanya akan baik-baik saja. Saya pun menurut. Saya, Solihah, Halimah, Fauziyah, Iwan dan Arna akhirnya naik banana boat sebagai peserta terakhir. Awalnya saya memang sangat ketakutan. Saat banana itu mulai bergerak ke tengah laut, mendadak rasa takut itu hilang seketika. Saya bersorak senang dan melepaskan semuanya dengan berteriak sekencang-kencangnya dibarengi dengan kedua tangan saya yang dibentangkan lurus. Dan teriakan saya diikuti oleh Halimah. Ia ikut berteriak sekencang-kencangnya. Kami lepaskan segala gundah, dan rasa negatif yang ada itu dan berubah menjadi suatu kelegaan. Yang anehnya, Iwan yang sedari tadi tampil cool, pas di tengah-tengah ombak yang membawa banana boat kami berkeliling, malah terkesan ketakutan. Beristighfar ia berkali-kali. Saat banana boat kami dijatuhkan, saya langsung berhasil mendarat (mengapung) dengan mulus. Saya dan pelampung langsung berada dipermukaan air laut. Tanpa kesulitan yang berarti, saya pun berusaha menggapai dan berusaha menepi, namun saat kami masih berada di tengah, tiba-tiba ombak datang dengan kerasnya sehingga menenggelamkan kami semua dan itu terjadi 2 kali. Saat seperti ini sungguh hal yang paling tidak saya inginkan. Saya tidak bisa berenang. Oleh karenanya, saat diterjang ombak dahsyat seperti itu berkali-kali dan ditenggelamkan berkali-kali maka tidak ada hal yang dapat saya lakukan melainkan berdoa dan pasrah pada Tuhan, Dia yang maha kuasa. Dengan keadaan setengah sadar, saya akhirnya dipapah menuju tepi pantai dan saya merasa ada 3 lelaki yang membawa saya ke tepi namun saya tidak begitu ingat siapa saja mereka. Meski begitu, saya tetap dapat melihat teman saya yang lain dan bekata bahwa saya ingin lagi. Saya belum puas menaiki banana ini. Lain kali saya akan mencobanya kembali.
Setelah menepi, langsung kami berbenah membersihkan diri dengan mandi. setelah itu, saya makan bakso seorang diri. Karena saat itu perutku keroncongan sedangkan untuk makan roti, saya tidak begitu menyukainya. Saya ajak teman-teman, namun tak ada yang mau dan mereka memilih makan sesuatu yang lain. Jadilah saya makan bakso sendiri sambil menikmati deburan ombak yang tak pernah lelah membenturkan dirinya ke batu-batu yang ada ditepi. Tak berapa lama setelah saya selesai makan, kami diberitahukan untuk segera berbenah dan membereskan barang-barang kami karena sebentar lagi kami akan kembali pulang menuju kota Jakarta. Tempat tinggal kami saat ini. Dengn terburu-buru, masing-masing dari kami sibuk kembali merapikan barang bawaan dan beharap tidak ada sesuatu pun yang tertinggal. Begitu pun dengan saya. Sedapat mungkin saya terus mengingat barang apa saja yang belum saya rapikan dan bawa pulang kembali. Saya rasa sudah masuk semua. Dengan tenang, kami pun menaikii bus, dan bersiap untuk pulang. Dalam perjalanan pulang, kami kembali bernyanyi-nyanyi dengan riangnya dan ditengah-tengah perjalanan kami, ada 3 bocah pengamen yang meramaikan bus kami. Mereka menyanyikan beberapa lagu dan itu atas permintaan kami yang berkali-kali meminta mereka untuk kembali bernyanyi. Cukup terhibur. Setelah beberapa kilometer kami meninggalkan pantai anyer, teman kami, Dede Jeri memberitahukan bahwa barusaja bus yang ditumpangi oleh sebagian wisatawan mengalami kecelakaan dan kami akan melewati jalan bekas kecelakaan itu. Untuk menjaga dan ikhtiar menghindari sesuatu buruk terjadi, maka kami kembali berdoa bersama dan setelah itu, keadaan bus kami hening, sepi. Mungkin kami lelah. Dan sebagian besar banyak yang tertidur dalam perjalanan pulang itu. Kami sampai di Fatmawati ba’da maghrib. Seperti biasa Jakarta macet. Oleh karena itu, kami diturunkan di fatmawati dan kami berjalan kaki untuk sampai di asrama. Meski melelahkan, saya tidak akan pernah lupa dengan semua kenangan manis pada 2 hari ini. Hari yang penuh cerita. Penuh pengalaman baru dan hari di mana, kami AZ’14 benar-benar tertawa bersama, bermain bersama terlepas dari semua keruwedan kota metropolitan dan tugas-tugas kuliah. Anyer, kau sebagian dari kenangan indah bersama mereka yang mustahil untuk bisa dihapuskan dari memori. Salam dari Jakarta.. I hope, I’ll see u again J

Komentar

Postingan Populer