Kisah Cinta Sejati Sepanjang Masa



Kisah Cinta Sejati Sepanjang Masa
Di belahan bumi ini tentu kita sering mendengar kisah-kisah percintaan termasyhur dari berbagai negeri. Terlepas itu berakhir bahagia ataukah sebaliknya. Seperti kisah Jack dan Rose yang akhirnya harus tenggelam di tengah dingin dan gelapnya kedalaman samudera Atlantik yang mencekam. Jack tenggelam demi menyelamatkan sang pujaan hati, Rose. Begitu pun kisah cinta Romeo dan Juliet yang dikisahkan dengan begitu tragis. Mereka tewas setelah akhirnya meminum racun untuk mengakhiri kepedihan kisah cinta mereka di dunia. Cinta mereka terpisah karena permusuhan akut dari kedua belah pihak keluarga Romeo dan Juliet yang berdampak kepada tidak direstuinya hubungan mereka berdua. Ada juga Kisah percintaan romantis antara Cinderella dan Pangeran Charming dengan segala lika-likunya dan tentu masih banyak lagi kisah cinta yang kita kenal.

Seindah-indah dan seromansa-romansanya kisah cinta yang ada, kisah cinta Imam Ali dan Sayyidah Fathimah lah yang tetap menjadi teladan kisah cinta terindah dan syarat nilai sepanjang masa baik dunia maupun akhirat. Bagaimana tidak? Mereka berdua mampu menyimpan rapih cinta yang ada dihati sebelum saatnya tiba mereka dipertemukan dalam ikatan suci pernikahan. Bahkan diriwayatkan pula bahwasannya syaitan pun tak mengetahui kisah cinta kasih sepasang penghulu surga ini.
Fatimah adalah Putri Rasulullah SAW yang sangat ia sayangi. Benih Fatimah sudah ditakdirkan tercipta dalam keadaan suci lagi bersih. Sehingga sesuatu apa pun yang terpancar dari diri Fatimah adalah kebaikan, keluhuran, keagungan dan kesempurnaan. Fatimah kecil sudah menunjukkan kasih sayang kepada ayahanda dengan cara yang mampu ia lakukan. Pada waktu Rasulullah terluka dan mengucurkan sepercik darah dari pelipisnya dikarenakan perang, Fatimah remaja saat itu cekatan untuk menolong Rasulullah SAW. Ia lakukan dengan mata gerimis dan hati menangis, Muhammad ibn ‘Abdullah Sang Tepercaya (Al-Amin) tak layak diperlakukan demikian oleh kaumnya! Maka gadis cilik itu pun bangkit, dengan anggunnya ia berjalan menuju Ka’bah di sana, para pemuka Quraisy yang semula saling tertawa membanggakan tindakannya pada Sang Nabi tiba-tiba dicekam diam. Fathimah menghardik mereka dan seolah waktu berhenti, tak memberi mulut-mulut jalang itu kesempatan untuk menimpali. Semua diam. Mengagumkan! Dan pada saat itu Imam Ali menyaksikan. Ia kagum entah apa itu, ia merasa bertambah kagum pada putri Nabi SAW tersebut. Ia merasa dirinya telah jatuh hati pada Sayyidah Fatimah, namun ia sembunyikan perasaan itu demi menjaga kehormatan pun ia merasa bahwa dirinya belum mampu untuk menikahi Sayyidah Fatimah dengan segenap jiwa raganya.

Imam Ali dengan kesungguhannya ingin menikahi Fatimah, ia bekerja keras guna mengumpulkan uang yang akan dibutuhkan untuk meminang Sang putri. Dalam diam dan kerja keras usahanya ia berharap kelak dapat menikah dengan sayyidah Fatimah, wanita yang sangat ia cintai. Namun dalam proses kerja kerasnya itu, dua kali ia didahului oleh sahabatnya yakni Abu Bakar dan Umar bin Khatab. Abu bakar yang dikenal dengan kejujurannya, ia adalah orang yang pertama kali mempercayai cerita Rasulullah sewaktu melakukan Isra’ Mi’raj. Siapa yang menyangka bahwa lamaran Abu Bakar saat itu ternyata ditolak oleh Rasulullah SAW. Ali merasa ada kesempatan dan dapat sedikit bernafas lega, namun tidak berapa lama setelah itu, ia mendengar bahwa Umar bin Khatab juga telah melamar Sayyidah Fatimah. Ali hanya bisa pasrah mendengar itu semua. Baginya, cinta tak pernah meminta untuk menanti. Ia mengambil kesempatan itulah keberanian atau mempersilahkan, itulah pengorbanan. Namun ternyata lamaran Saudara Umar Bin Khatab juga tidak diterima oleh Rasulullah. Inilah kesempatan besar untuk Imam Ali, dengan segenap keberaniannya, akhirnya Imam Ali melamar sayyidah Fatimah. Tidak seperti sahabat-sahabat yang lain, ia melamar Fatimah dengan hanya bermahar baju besi perang. Karena ia memang tidak memiliki barang-barang mewah. Dengan kejujuran dan keberaniannya, akhirnya lamaran Imam Ali DITERIMA! Betapa bahagianya hati saat itu.
Pernikahan mereka dilangsungkan dengan sangat sederhana. Mereka menikah dalam rentang waktu antara perang Badar dan Uhud tepatnya di bulan Ramadhan tahun kedua Hijriyah. Sayyidah Fatimah dan Imam Ali hidup dalam kesederhanaan atau bahkan bisa dikatakan kekurangan. Seringkali mereka tidak makan untuk berhari-hari. Mereka memiliki sifat altruisme. Sifat mengutamakan orang lain di atas dirinya. Meski keadaan serba kekurangan, mereka selalu berbagi apa yang mereka punya dengan yang lebih membutuhkan.

Meski demikian, sisi keromantisan di dalam rumah tangga pasti ada. Itu semua tercipta dari tutur, sikap dan ekspresi yang tidak berlebih-lebihan di antara keduanya. Pernah suatu malam Sayyidah Fatimah berkata kepada Imam Ali, ia bermaksud bersenda gurau dengan suami tercintanya itu, kemudian ia mulai percakapan: “Wahai suamiku, maafkan aku karena sebelum menikah denganmu, saya pernah sekali mencintai seorang pria”. Imam Ali pun bertanya: “Mengapa kini kamu menikah denganku? Aku tidak ingin kamu terluka, oleh karenanya aku rela bila kamu menikah dengan pria yang kau cintai itu. Meski kamu istriku, kamu hingga kini masih suci, wahai Fatimah” sayyidah Fatimah tersenyum dan hampir tertawa karena melihat tingkah Ali yang seperti itu dan mulai berkata:”Iya namun pria itu kini telah menikah, beruntung sekali wanita yang memenangkan hatinya”. Imam Ali semakin bingung dibuatnya. “Baiklah, sebelum saya menceraikanmu, aku ingin tahu nama pria itu. Siapa nama pria itu? Maaf Fatimah” pintanya sopan. Fatimah pun tersenyum dan berkata: ”Ya pria itu sekarang ada disisiku, kini ku tengah peluk ia dan ia bernama Ali bin Abi Thalib. Ya pria itu adalah dirimu, wahai suamiku”. Betapa romantisnya mereka. Saya yakin semua orang pasti melambung membayangkan betapa sederhana dan romantisnya candaan mereka.

Pernah suatu kali Fatimah diberitahukan oleh Rasulullah, sebelum tidur hendaklah engkau membaca “Subhanallah”, “Alhamdulillah” sebanyak 33 kali dan ditutup dengan “Allahu akbar” sebanyak 34 kali. Niscaya Allah membuat semua urusan menjadi lebih mudah untuk diselesaikan. Dan benar saja Sayyidah Fatimah tidak merasa berat menjalani aktivitasnya sebagai ibu rumah tangga dan seorang istri. Semuanya Allah mudahkan. Dan amalan ini kemudian sangat digemari oleh muslim-muslimah hingga kini. Dan biasanya ini dilakukan sebagai zikir harian setelah shalat fardu.

Selama menjadi istri Imam Ali, Sayyidah Fatimah tak pernah meminta sesuatu apapun sekali pun tangannya kasar karena sering menggiling tepung guna memenuhi kebutuhan makan ia dan suaminya. Ia tak pernah menginginkan pembantu rumah tangga. Semua pekerjaan rumah ia selesaikan secara mandiri. Pernah sekali-kalinya ia meminta Imam Ali untuk memberikannya sebuah delima karena pada saat itu Sayyidah Fatimah dilanda sakit. Imam Ali pun berusaha untuk mencari meski saat itu ia tengah tak mempunyai uang. Akhirnya setelah ia berusaha dan memperoleh uang satu dirham, bergegaslah ia menuju pasar untuk membeli buah delima itu. Ia sudah membayangkan betapa senangnya wajah sang istri ketika ia sampai rumah dan membawa buah delima. Di tengah perjalanan pulang, ia bertemu dengan seorang tua yang terbaring sakit. Ia berkata kepada Imam Ali, bahwa “Saya telah terbaring sakit selama 5 hari, banyak orang berlalu lalang di sini namun tak seorang pun menghiraukan saya, tuan. Kasihanilah saya.” Pintanya memelas. Imam Ali bertanya dengan sopan: “Apa sekiranya yang bapak ingnkan?” kemudian bapak itu menjawab: “Ketahuilah nak, bahwa saya sangat menginginkan buah delima”. Imam Ali bingung. Buah delima yang ditangannya ini hanya satu dan itu akan ia berikan kepada sang istri yang tengah terbaring sakit dan menunggunya dirumah. Dengan besar hati, Imam Ali akhirnya dengan ikhlas memberikan buah itu kepada bapak yang terbaring sakit ditempat itu. Sesampainya di rumah, Imam Ali menceritakan semuanya dan Sayyidah Fatimah tersenyum bahagia, lalu berkata: “ketahuilah suamiku, saya sangat senang mendengarnya dan kini hasratku tentang buah delima itu telah lenyap sudah”. Dan mereka pun tersenyum penuh kemesraan. Subhanallah, begitu mulia hatimu, Fatimah.
Tak berapa lama, pintu rumah mereka ada yang mengetuk dan setelah dibuka tamu itu adalah Salman Al-Farisi dan ia membawa sebuah wadah tertutup. Diletakkannya itu di depan Imam Ali lalu berkata: “Aku membawakan ini dari Allah SWT dan melalui perantara Rasulullah”.
Dari kisah di atas, kita dapat menyimpulkan betapa Allah tak pernah lengah sedikitpun terhadap hamba-hamba-Nya terlebih lagi bagi mereka yang berkata, berbuat dan beribadah semata-mata karena Allah ta’ala. Hamba-Nya yang shalih. Maha besar Allah, Tuhan semesta Alam.

Selanjutnya, dari Fatimah dan Ali lah benih-benih anak shalih dan shalihah mulai berkembang. Ia melahirkan Hassan dan Hussein yang merupakan para pemuda penghulu surga. Dan anak shalihah yang bernama Zainab. Ia juga mengandung anak yang bernama Muhsin namun Allah berkata lain, Sayyidah Fatimah keguguran saat mengandungnya.

Tentu kisah para manusia agung, suci dan mulia ini sangat tak cukup jika saya hanya bercerita lewat lembaran yang terbatas ini, namun itulah seklumit kisah teladan yang layak kita ketahui. Cukup sekian yang dapat saya bagikan. Semoga bermanfaat.

Komentar

Postingan Populer