Mengapa Saya Berfilsafat



Nama: Alfiyah                                                                                      Semester: IV (Empat)
Prodi: Al-qur’an dan Tafsir                                                          Tugas UAS Filsafat Ilmu

MENGAPA SAYA BERFILSAFAT
Berawal dari keinginanku yang kuat untuk terus bersekolah, akhirnya dengan berbagai usaha mencari-cari suatu universitas atau perguruan tinggi yang menawarkan beasiswa bagi lulusan SMA, MAN, SMK atau sederajat. Saya dan kawan seperjuangan banyak yang memiliki kondisi serupa. Kami berburu dan terus mencari beasiswa untuk kuliah. Ternyata, di era sekarang, banyak perguruan-perguruan tinggi yang menawarkan hal tersebut.  Tak terkecuali dengan perguruan-perguruan tinggi yang cukup terkenal di tanah air seperti UI (Universitas Indonesia) yang notabenenya dikenal dengan kampus elit dan tempat para anak pejabat atau bahkan artis dalam menuntut ilmu. Universitas Padjadjaran (UNPAD) yang dikenal kece dengan fakultas kedokterannya. Institut Teknologi Bandung atau yang lebih akrab disingkat ITB dan lebih dikenal lagi karena salah satu tokoh Indonesia bahkan dunia merupakan jebolan dari kampus tersebut. BJ Habibie, ya dialah seorang tokoh Indonesia yang terkenal hingga ke kancah dunia terutama dalam hal penerbangan. Dan tentunya masih banyak lagi universitas dan perguruan tinggi yang menawarkan beasiswa semacam itu dengan catatan kita selaku penerima beasiswa harus memilki seabreg prestasi yang mungkin jika diadukan dengan seluruh siswa-siswi se Indonesia rasanya sulit sekali dapat menembus bahkan lulus dalam pertempuran sengit itu.

Kami yang berasal dari MA Negeri yang ada di Kabupaten Cirebon tepatnya, tidak begitu saja menyerah tanpa mencoba. Akhirnya banyak dari kami yang mencoba mengikuti dengan berbekal keyakinan dan percaya diri karena memang banyak prestasi. Hingga berbekal kenekadan saja pun ada. Tak terkecuali dengan saya. Saya  pun mencoba keberuntungan dengan mendaftar di UPI (Universitas Pendidikan Indonesia) karena memang dari dulu bercita-cita ingin menjadi seorang guru dan satu lagi saya mendaftar di UNPAD dengan pilihan fakultas kedokteran. Pilihan saya ini memang cukup konyol. Mengingat peminat di fakultas tersebut memiliki tingkat peminat yang tinggi. Saya tak begitu  memperdulikan hingga pada saatnya tiba, saya dinyatakan tidak lulus dalam seleksi keduanya dengan kisah berbeda yang jika dibahas, akan memakan banyak kata dan akan lebih baik jika dibahas terpisah dari lembaran yang tengah saya tulis ini .
Pencarian saya tidak berhenti di situ. Kemudian saya mencoba mendaftar di Sekolah Tinggi Filsafat Islam Sadra Jakarta yang merupakan hasil dari rekomendasi seorang guru yang cukup akrab dengan kami. Kami di sini adalah teman-teman saya yang berada di kelas XII IPA 4 waktu itu yakni (Siti Halimah, Daimah, Sholihah, Sarif dan saya sendiri tentunya). Guru itu adalah seorang guru yang sangat tegas dan disegani oleh banyak siswa-siswi dan beliau mengajar dalam bidang Bahasa Arab selama kami tengah menuntut ilmu di MAN.  Dengan segenap kepedulian dan kemampuannnya, ia membantu kami dan mengatakan kepada kami meski kampus kalian tidak terkenal seperti kampus-kampus lain yang kalian idamkan, yakinlah bahwa dimana saja kita belajar adalah semuanya kembali kepada diri masing-masing. Tempat belajar memang penting namun kesungguhan dalam belajar jauh berada lebih penting di atas semuanya. Kata-kata tersebut tetap terngiang ditelinga semenjak saya melihat film Negeri 5 Menara. Yang mana salah satu tokoh riil pada film tersebut adalah dosen saya sendiri di STFI Sadra. Telur ayam yang ada hari ini lebih baik daripada ayam esok hari. Itu hanyalah sebuah analogi yang guru MAN saya sampaikan untuk mengumpamakan bahwa kesempatan yang ada sekarang lebih baik daripada menunggu kesempatan lain yang belum jelas juntrungannya (kapan tibanya).
Akhirnya kami pun menerima dan mencoba ikut mendaftar melalui jalur seleksi tes dan wawancara. Yang diujikan pada saat itu adalah pelajaran Bahasa Indonesia, Bahasa Arab, logika, Bahasa Inggris dan tes wawancara tentunya. Namun lebih dititik beratkan kepada pelajaran Bahasa Arab dan Bahasa Inggris. Saya sadar betul kemampuan saya di mana, bisa apa dan sebagainya. Akhirnya pada saat menjawab soal-soal tes pun banyak didasari ketidaktahuan atau bahkan asal-asalan karena memang tidak tahu apa yang mesti dijawab saat itu, terlebih untuk pelajaran Bahasa Arab. Saya belajar bahasa arab hanya sekilas dan baru mengenalnya pada saat saya masuk ke MA. Sebelumnya saya tidak mengetahui apa itu bahasa Arab selain bahasa yang memang digunakan oleh bangsa Arab. Selebihnya saya tidak tahu. Saat tes wawancara pun saya menjawab sekena dan sebisanya karena saya hanya bisa bahasa inggris dan itu masih sedikit kosakata yang saya ketahui. Saya tidak bisa bahasa arab. Walhasil saya tidak begitu  percaya diri dengan hasil tes yang akan diumumkan.
Setelah beberapa lama, akhirnya pengumuman hasil tes diumumkan juga. Dan yang berhasil diterima di Sekolah Tinggi tersebut adalah Siti Halimah dan Daimah. Saya, Sarif dan Sholihah tidak lolos dalam seleksi. Kecewa pasti ada. Namun guru kami itu, sebut saja dia Pak Ubed tak berhenti sampai di situ. Mendengar dari kami ada yang tidak lulus, beliau pun langsung mencari inisiatif dengan mendaftarkan kami di Madinatul Ilmi yang berada di Depok. Semangatnya melebihi kami sendiri yang ingin kuliah. Dengan kepeduliannya yang begitu besar, kami pun manut. Setelah berkas-berkas yang dibutuhkan nyaris sempurna, kami diberitahu bahwa kami diterima di Sekolah Tinggi Filsafat Islam Sadra pada gelombang kedua. Betapa senangnya kami, karena sudah ada teman kami yang berhasil lulus terlebih dulu. Dengan berbekal keyakinan dan rasa syukur yang mendalam, saya berjanji akan belajar dengan sungguh-sungguh ditempat di manapun saya menuntut ilmu. Dan STFI Sadra lah yang menjadi tempat saya menuntut ilmu selama program S1 ini. Yang dulu tidak tahu sama sekali apa itu filsafat, buat apa kita belajar filsafat dan ilmu seperti apakah filsafat itu dan segudang pertanyaan seputar filsafat menyelimuti pikiran saya, akhirnya saya justru belajar di tempat seperti itu. Mulai dari sinilah perkenalan saya dengan filsafat. Mau tidak mau saya harus tahu dan lebih mengenalnya.
STFI Sadra merupakan Sekolah Tinggi yang masih tergolong sangat baru. Oleh karena itu, pilihan prodi atau jurusan yang ada masih sangat terbatas yaitu Filsafat dan Ilmu Al-Qur’an dan tafsir. Sempat bingung akan memilih yang mana. Dengan berbagai pertimbangan yang ada, akhirnya saya memilih prodi Ilmu Al-Qur’an dan tafsir. Meski begitu, saya dan teman-teman satu prodi memiliki kesempatan sama untuk belajar filsafat seperti anak-anak yang mengambil prodi filsafat. Semester 1 dan 2 kami full dengan materi bahasa Arab dan Inggris. Sehingga kami baru mengenal filsafat di semester 3. Masalah-masalah filsafat, kengerian terhadap filsafat, filsafat itu membuat sesat pelajarnya dan berbagai tuduhan miring terhadap bidang ilmu ini, kini terjawab sudah. Semua tuduhan itu tidak ada yang benar sama sekali. Semuanya hanyalah disebabkan oleh keterbatasan pengetahuan masyarakat kita saja yang begitu mudah menjudge sesuatu tanpa terlebih dulu benar-benar mengetahui dan mempelajarinya. Masyarakat yang masih awam dan mudah menerima informasi apa saja yang mereka dapat.
Sebenarnya manusia setiap dirinya mampu berfilsafat tanpa terlebih dulu ia harus belajar secara formal dibangku sekolah ataupun kuliah dan sebagainya. Bahkan anak kecil yang baru mengetahui tentang sesuatu, mereka pun mampu untuk berfilsafat. Filsafat merupakan ibu atau penghulu dari semua bidang ilmu yang ada. Filsafat sebenarnya mengajarkan tentang hakikat suatu kehidupan. Kita diajarkan cara berpikir secara radikal (mendalam) hingga benar-benar tahu sumber darimana sesuatu yang dipertanyakan itu berasal. Selain itu, dalam filsafat juga diajarkan sebuah sikap. Sikap kritis yakni sikap tidak begitu saja mudah menerima apa-apa yang didapat dari luar diri kita. Sekalipun itu terhadap teori yang telah dipercaya berpuluh-puluh tahun atau abad benar, kita tidak boleh begitu saja menelan teori itu mentah-mentah. Kita harus menguji dan selalu mempertanyakannya. Bukan untuk ngeyel atau semacamnya, namun itulah yang diajarkan dalam filsafat. Di dalam filsafat, kita benar-benar diajarkan untuk menggunakan potensi luar biasa kita yakni akal agar dapat digunakan berpikir secara merdeka semerdeka-merdekanya. Dalam arti lain kita benar-benar bebas dalam memikirkan sesuatu apapun tanpa terpengaruh sesuatu lain dari luar diri kita atau tercemari pemikiran orang lain yang kita sendiri belum mengetahui kebenarannya dengan catatan apa yang kita yakini itu harus mampu dipertanggungjawabkan dengan sebaik-baiknya berdasarkan argumentasi yang jelas dan beralasan. Belajar filsafat terkadang membuat saya pusing, meski begitu saya suka. Entah mengapa saya merasa tertantang untuk dapat mengikuti mata kuliah ini dengan sebaik-baiknya.
Saya baru mengenal filsafat hanya sebatas pengantar filsafat. Salah satu mata kuliah yang ada di Sekolah Tinggi Filsafat Islam Sadra dan mata kuliah ini diampuh oleh Dr. Haidar Bagir. Beliau adalah seorang filusuf Indonesia, seorang penulis buku dan termasuk ke dalam daftar 500 orang paling berpengaruh di dunia. Saya merasa amat bangga menjadi bagian dari salah satu mahasiswinya.
Sebenarnya filsafat itu tak semengerikan mainstream orang-orang membayangkan. Jika ditanya oleh masyarakat sekitar:”Kuliah dimana nak?” saya jawab:”Jakarta bu, pak. Dekat RS.Fatmawati”. Mereka bertanya kembali:”Universitas apa itu?” maka saya pun kembali menjawab:”Sekolah Tinggi Filsafat Islam Sadra”. “Wah, filsafat ya” respon mereka. Sebagian yang mengerti akan memberikan komentar dan kesan yang kurang mengenakkan karena banyak yang beranggapan bahwa filsafat itu sesat. Jangankan orang atau masyarakat awam, bahkan seorang guru yang notabenenya harus lebih mengerti pun, juga berpikir demikian, mempunyai pemikiran  sama seperti masyarakat awam. Mereka berkata bahwa jika tidak kuat pondasi yang kami punya yang dalam hal ini adalah akidah, maka kami (sebagai pelajar) akan berpikir sakarepe dewe’ (semaunya sendiri) atau dengan kata lain ngawur. Dan itulah yang menjadikan pelajar filsafat diberi lebel sesat. Dan sebagian besar lainnya memang tidak mengetahui apa itu filsafat. Itulah realita yang ada di tengah masyarakat kita sekarang.
Pada suatu malam saat sebelum saya kembali ke Jakarta, saya sempat dipanggil oeh Pembesar NU yang ada dikecamatan saya. Ia seorang kyai yang cukup dikenal. Beliau meminta saya untuk mengklarifikasi tentang kuliah saya ditempat yang dijuluki dengan gerbong syiah itu. Yang mana syiah dalam pandangan masyarakat umum adalah sesat dan bukan Islam. Tak pernah sebelumnya saya diinterogasi seperti ini. Tak ada gentar sedikitpun dalam benak dan hati. Ditemani dengan ayah dan adik saya, kami mengunjungi dan memenuhi undangannya. Ia berbicara tentang kesesatan-kesesatan syiah dan semacamnya dan saya hanya tersenyum sambil mendengarkan apa yang beliau tuturkan. Bukan bermaksud untuk meremehkan atau bagaimana, hanya saja saya sudah kenyang dengan isu-isu seperti itu. Beliau bertanya: “Apa benar di sana itu banyak orang syiah di dalamnya?”. “Iya ustad, bukan hanya banyak, bahkan para donatur dan petinggi kami adalah orang syiah” jawab saya polos. “Apa selama menuntut ilmu di sana kamu mengalami hal-hal yang menurutmu menyimpang atau aneh?” tanya beliau selanjutnya. “Bukan menyimpang ustad, saya berpendapat bahwa perbedaan yang saya saksikan justru menjadi salah satu keragaman islam itu sendiri, menjadi suatu hal baru bagi saya”. Kembali saya jawab dengan apa adanya. Beliau mungkin khawatir seandainya saya sudah berpindah mazhab. Kemudian beliau bertanya kembali: “Selama belajar di sana, apa ada ajaran-ajaran yang mewajibkan kamu untuk mengikuti cara ibadah mereka?”. “Tidak ustad. Tidak ada sama sekali. Saya hingga kini tetap dengan apa yang saya yakini. Shalat masih sama, wudhu pun sama dan hal mendasar lainnya dalam keyakinan tetap saya pegang dan tak ada yang berubah. Saya sama sekali tak merasa disesatkan oleh mereka. Justru mereka banyak menyumbang hal baru untuk saya.” Saya jawab dengan sedikit penekanan. “Ya. Tapi jika dirasa sudah ada hal-hal yang tidak sejalan dengan pikiran dan keyakinanmu, lebih baik berhenti dari menuntut ilmu di STFI Sadra tersebut, jangan gadaikan akidahmu dengan sesuatu hal yang lain”. Tuturnya kembali. Saya mengerti dan mengangguk mengiyakan. Saya paham mengapa beliau mengatakan seperti itu dan saya memakluminya. Dan setelah cukup lama berbincang-bincang dengan Sang Kyai, kami akhirnya berpamit untuk pulang karena mengingat waktu itu sudah larut sekali dan esok pagi saya harus kembali ke Jakarta.
Dulu, dulu sekali saya tak sempat berpikir bahkan terbersit sedikit pun tidak untuk belajar ditempat seperti ini. Namun Tuhan telah menunjukkan jalannya untuk saya dan dengan cara-Nya saya mulai mengenal filsafat di STFI Sadra ini. Sepertinya dunia tengah merindukan kami selaku para pemuda penerus perjuangan bangsa untuk  kembali bersinar dalam memancarkan cahaya kejayaan peradaban islam khususnya. Bukan hal yang mustahil dengan tempaan seperti ini, kami benar-benar dapat bermanfaat untuk lingkungan, negara bahkan agama kelak dikemudian hari. Dan itulah salah satu poin penting yang ada di Visi STFI Sadra.
Tiap pertemuan dalam Mata Kuliah pengantar filsafat, kami dibiasakan untuk berdiskusi dengan dibaginya kelompok-kelompok yang bertanggung jawab tiap minggu. Awal-awal pertemuan, kuliah kami ini langsung diampu oleh Pak Haidar Bagir beserta Pak Azam selaku asistennya. Sebenarnya penjelasan beliau sudah cukup jelas, namun saya menyadari bahwa pada saat itu sebagian besar kami masih berada dalam kebingungan untuk mencerna makna kata-kata yang beliau sampaikan. Terlebih kami adalah mahasiswa-mahasiswi semester awal dan baru mengenal filsafat kali ini, di kampus ini. Kami diperkenalkan kepada filsafat dimulai dari pengenalan sejarah filsafat yakni dari abad sebelum masehi hingga abad modern ini. Membicarakan sejarah, tak lepas dari tokoh-tokoh yang hadir pada waktu itu. Plato yang dikenal dengan dunia idenya, Sokrates dan Phytagoras itu hanyalah sedikit tokoh yang banyak dikenal oleh kalangan umum. Selain mereka, sangat banyak tokoh yang ikut menyumbangkan pemikirannya dalam perkembangan ilmu yang amat penting ini. Sebelum masa mereka, seperti Thales sudah memikirkan bahwa unsur utama kehidupan ini adalah air. Menurut Phytagoras sendiri bahwa hidup ini tersusun dari angka-angka, semua yang ada di dunia ini bisa dikalkulasikan dengan perhitungan matematik. Untuk ukuran zaman saat itu, pemikiran-pemikiran tersebut adalah hal yang sangat langka dan sangat diapresiasi karena sudah melampaui pemikiran umum yakni mampu berpikir demikian mendalam tentang suatu kehidupan. Dan tentu masih sangat banyak tokoh lainnya. Tak terkecuali dengan para tokoh muslim, mereka pun ikut turut berperan penting dalam dunia filsafat. Seperti Ibnu Sina, yang dikenal sedari kecil sudah banyak menguasai ilmu pengetahuan dan kemampuan dia dalam memahami dan menjelaskan ilmu pengetahuan melebihi gurunya. Sehingga saat gurunya berhalangan hadir mengajar di kelas, maka Ibnu Sinalah yang tampil ke muka umum (kelas) untuk menjelaskan apa-apa yang ia ketahui. Padahal saat itu, ia adalah seorang siswa yang paling kecil di antara teman yang lainnya. Ibnu Sina mempunyai usia yang bisa dikatakan tidak cukup panjang hanya 54 tahun namun jika dirata-rata ia mampu menghasilkan sekitar lebih kurang 300 halaman tulisan per hari sejak ia lahir hingga ia wafat. Ia di makamkan di Kota Hammadan. Buku yang ia tulis pun hingga kini masih dijadikan sebagai bahan rujukan dari berbagai bidang disiplin ilmu yang ada saat ini. Tokoh dari umat kristiani sendiri ada Thomas Aquinas dan yang lainnya. Beda tokoh, tentu berbeda pandangan dalam menanggapi atau menilai sesuatu, dan itu tidak menjadi masalah yang serius hingga berujung kekacauan, tidak. Tidak sama sekali. Ini tidak terjadi dalam filsafat. Dalam filsafat, kami diajarkan menjadi manusia bijak, seperti pada hakikat arti filsafat itu sendiri. Kami diajarkan untuk dapat berpikir secara kritis dan bebas. Kritis di sini bukan serta merta menolak apa yang didapat dari luar, melainkan benar-benar memikirkan hal yang bersangkutan dengan teliti dan hati-hati sebelum diterima agar terhindar dari penyesalan kesalahan berpikir.
Dalam pertemuan-pertemuan selanjutnya, diskusi kami hanya didampingi oleh Pak Azam. Sebab Pak Haidar banyak jadwal di tempat lain dan kami memaklumi hal ini. Berjalannya waktu, kami perlahan dapat mengikuti Mata Kuliah ini dengan lebih baik lagi itu ditandai dengan banyaknya dari kami yang bertanya seputar ilmu ini dan keingintahuan kami yang berapi-api sehingga seringkali waktu yang disediakan tidak cukup untuk kami berdiskusi tiap minggunya.
Dalam kesempatan ini, saya ingin sedikit menjelaskan filosofis nama saya.
ALFIYAH: Seribu Kisah, Seribu Harapan
Nama adalah sebuah Doa. Itulah yang kita yakini selama ini. Namun pada masyarakat kita sedikit sekali yang mengerti bagaimana membuat nama yang baik untuk anak-anak mereka. Maka pada saat anak mereka lahir ke dunia, mereka lebih sering menanyakan perihal nama untuk anak mereka kepada para pemuka agama yang ada di daerah. Hal itu pula yang terjadi pada kedua orang tua saya.
Kata Alfiyah diserap dari bahasa Arab yaitu Alfun yang berarti seribu. Seribu di sini mempunyai makna yang sangat luas. Yang di sini saya lebih suka diberi judul kecil Seribu Kisah, Seribu Harapan. Dan inilah kisahku.
Saya dilahirkan disuatu Kecamatan yang ada di Kabupaten Cirebon tepatnya di Desa Kertasari. Sejak dilahirkan hingga berumur 8 tahun, nama saya saat itu adalah Habibah. Habibah juga berasal dari Bahasa Arab yakni Habba-Yahibbu yang bermakna Cinta. Habib/Habibah artinya yang mencintai. Nama ini sebenarnya memiliki makna yang sangat indah dan dalam. Sewaktu kecil, saya sering bolak-balik ke Dokter untuk berobat. Dan saat umur saya menginjak usia 8 tahun, saya sempat dirontgen (sinar-X) guna mengetahui sakit apa yang saya derita. Dan benar saja ternyata saya terkena flek paru-paru. Yang karena itu selama setengah tahun hidup saya tidak boleh lepas dari obat untuk penyembuhan. Meski begitu, saya beruntung sekali karena penyakit itu tak menghalangi sedikit pun prestasi yang dapat saya raih. Dari awal masuk sekolah formal di Sekolah Dasar, saya selalu berhasil menggondol juara kelas dan hanya  1 semester menurun ke peringkat 2. Saya juga tetap dapat bergaul dengan kawan sebaya seperti bermain, bercengkrama, belajar bersama dan sebagainya. Namun tetap saja ada sisi lain bagi saya yang mempunyai penyakit. Saya tidak bisa mengikuti aktivitas berat, tidak bisa lari dengan jarak yang cukup jauh yang jika itu dilanggar, sesak nafas melanda. Tidak mampu menerima cuaca yang terlalu dingin. Dan mudah terserang sakit dibanding teman-teman saya yang lain. Karena imun saya sedikit lemah.
Tak lama setelah melakukan pengobatan rutin selama 6 bulan itu, orang tua saya mengganti nama saya. Karena menurut persepsi mereka dan orang disekitar yang mengerti, nama saya dianggap mempunyai makna yang cukup berat. Yang kedalaman makna nama itu dirasa berat dipikul oleh seorang gadis kecil seperti saya. Sehingga saat itu saya pun berganti nama seperti yang dikenal sekarang. Dengan bergantinya nama Khabibah menjadi Alfiyah, orang tua mengharapkan seribu harapan akan kehidupan yang lebih baik, seribu jalan menuju kebaikan, seribu cara untuk menggapai kebahagiaan dan seribu harapan akan tumbuhnya gadis kecil mereka hingga menjadi wanita yang mampu memberi seribu harapan kehidupan yang lebih baik bagi sekitar. Saya kini tumbuh menjadi remaja yang sangat beruntung. Kini saya tengah belajar disebuah lembaga Perguruan Tinggi di Jakarta dan mempunyai banyak teman dari berbagai daerah  di Nusantara. Saya juga dapat dikatakan seperti remaja wanita lain yang sehat walau terkadang sistem imun saya tidak sekuat imun mereka. Namun saya tidak akan menyerah untuk mengubah mimpi saya menjadi nyata. Harapan yang selama ini menjadi motivasi terbesar dalam hidup saya bahwa saya mampu berprestasi lebih dibanding wanita normal lainnya. Itulah sekilas filosofis nama saya yang singkat namun padat makna.
Setelah sedikit tahu apa itu filsafat, saya merasa mampu untuk berpikir dengan lebih jeli dibanding sebelum saya mengenal filsafat. Saya pun banyak bertanya tanpa malu kepada dosen dan teman-teman terlepas pertanyaan yang saya ajukan itu rasional atau tidak. Namun, tetap saja saya juga mempertimbangkan terlebih dulu terhadap apa yang ingin saya tanyakan. Dalam menanggapi suatu permasalahan pun kami diajarkan untuk menyikapinya dengan lebih bijak. Belajar melihat sesuatu dari berbagai sudut pandang yang berbeda. Oleh karenanya, kami diajarkan suatu sikap toleran yang benar dan semestinya. Tidak begitu saja mengklaim diri sebagai yang paling benar, melainkan belajar menerima pendapat atau pandangan yang berbeda menurut sebagian yang lain. Filsafat ialah cara berpikir secara mendasar dalam segala hal. Orang besar berpikir hal-hal yang besar. Orang yang berpengetahuan tidak melakukan tindakan kecuali melalui tahap berpikir. Dalam pepatah lain dikatakan Thinking before Moving.
Sedari kecil, TPA, SD, SMP dan MAN saya dibesarkan dilingkungan yang sebut saja mayoritas masyarakatnya bermazhab Ahlussunnah wal jamaah atau yang lebih sering disebut dengan Sunni. Saya tidak begitu mengenal dalam tentang agama. Oleh karena itu, saat saya pertama kali menginjak kaki di komunitas lain dan berteman dengan sebagian teman yang bermazhab lain adalah suatu hal yang beda pada diri saya. Benar-benar beda. Awalnya saya kaget karena hampir sebagian besar gerakan sholat kami berbeda. Kami shalat dengan bersedakep sedangkan mereka dengan tangan lurus. Mereka menggunakan batu kecil untuk tempat bersujud yang disebut dengan turbah sedang kami tidak, kami langsung pakai sajadah dan menempelkan dahi ke tanah tiap kali sujud. Tiap takbir, mereka mengangkat sedikit tangan mereka ke atas sedang kami hanya pada waktu tertentu saja. Sontak saja saya kaget dengan semua perbedaan yang saya saksikan itu. Dan pertama kali saya mengalami hal tersebut adalah ketika kami matrikulasi bahasa Arab selama 10 hari di puncak Bogor. Dan itu merupakan kenangan yang sangat berarti bagi saya sendiri tentunya. Dan itulah awal dari keragu-raguan dan berbagai pertanyaan mendasar muncul dalam benak saya. Bukan takut dan ingin menyerah, justru mulai saat itu, saya tertantang untuk dapat menemukan jawaban-jawaban atas kebingungan-kebingungan yang saya alami dan rasakan. Dari sinilah, akal saya dalam berpikir filsafat mulai tercipta. Mengapa kita berTuhan? Mengapa saya beragama Islam sedangkan sebagian yang lain tidak? Mengapa saya berbeda dengan yang lain? Mengapa agama itu bermazhab? Dan berbagai pertanyaan mengapa-mengapa lain mulai bergelayut dan semakin membebani pikiran saya untuk dapat segera menemukan jawabannya.
Selain belajar filsafat, di STFI Sadra ini tentu saya belajar ilmu-ilmu yang lain. Banyak ilmu pengetahuan baru saya dapatkan di sini. Salah satunya adalah ilmu logika. Logika adalah ilmu yang mengajarkan kita berpikir secara benar, belajar tentang definisi hingga tetek bengek yang ada di dalamnya. Yang mana definisi adalah hal yang amat penting dalam ilmu pengetahuan. Semua berasal dari suatu definisi. Seperti yang telah saya utarakan di atas, bahwa filsafat adalah berpikir secara mendalam dan mendasar. Maka dari itu, filsafat ini sangat berkaitan erat dengan ilmu logika. Dalam definisi, kita bermain dengan kata-kata. Kata-kata yang disusun akan terlihat sebagai kalimat dan kalimat-kalimat yang telah dirangkai dengan rapi akan berubah menjadi suatu paragraf yang kemudian berkembang menjadi sebuah teori. Kita semua tentu tahu, bahwa teori yang berlaku saat ini, di dunia ini adalah teori buatan manusia yakni dalam artian masih bisa benar dan bisa salah. Dan apabila satu masalah yang sama dikaji oleh orang yang berbeda, tentu teori atau hasil yang mereka dapat pun tentu tak sama meski mungkin dihasil akhir keduanya memiliki kesamaan namun perbedaan pasti hadir di tengahnya. Mengapa demikian? Saya beranggapan dan memandang bahwa wajar itu terjadi. Bahkan sangat mungkin terjadi. Ya karena manusia dalam berinterpretsi akan suatu pendapat adalah sesuai apa yang mereka peroleh dan semuanya tidak lepas dari berbagai perbedaan yang melatarbelakanginya. Misal perbedaan suku, agama, tingkat pengetahuan, kondisi sosial masyarakat dan lain-lain itu semua berpengaruh terhadap pandangan seseorang mengenai suatu hal. Dan yang terpenting adalah epistemologi mereka yang berbeda. Epistemologi di sini tidak saya artikan sebagai pengetahuan pada umumnya melainkan epistemologi adalah bagaimana cara kita memperoleh suatu ilmu pengetahuan tersebut. Setelah saya mempelajari filsafat dan logika, saya mampu berpikir lebih cermat lagi dalam memandang suatu hal dan tidak saling menyalahkan atau menganggap diri sebagai yang paling benar. Tidak sama sekali. Semua orang memiliki potensi dan kebebasan yang sama dalam bersuara. Oleh karenanya, saat ada perbedaan-perbedaan dalam pandangan, saya mulai menganggapnya sebagai hal yang sangat wajar dan bahan menarik untuk didiskusikan bersama. Saya seperti ini tentu karena kehendak dan kuasa Tuhan namun dibalik itu semua, melalui filsafat lah Tuhan menunjukkan bahwasannya kita diajarkan untuk benar-benar menjadi manusia. Kita diajarkan cara memanusiakan manusia.
Dapat bersekolah di Sekolah Tinggi Filsafat Islam Sadra ini memberikan udara baru bagi saya pribadi. Saya suka berada disekeliling orang hebat dan cerdas. Dan orang-orang demikian banyak saya temukan di Instansi ini. Bahkan para mahasiswa dan mahasiswinya pun tak kalah kritis dan cerdas dari dosen-dosen. Tiap waktu, banyak dari mahasiswa dan mahasiswi melakukan berbagai diskusi. Bisa tentang tafsir, filsafat, isu-isu terkini dan masih banyak lagi. Saya yakin, kelak orang besar banyak dilahirkan dari kampus kecil ini. Semoga. Bukan hal yang aneh jika saya sering mendengar pertanyaan-pertanyaan yang nyeleneh dari kawan-kawan semua. Mungkin saya salah satu dari mereka.
Sekali lagi, belajar filsafat dan mengapa kita berfilsafat itu bukan karena hal rumit atau semacamnya, melainkan pada hakikatnya manusia itu sendiri seringkali berpikir filsafat secara sadar maupun tidak sadar. Dengan adanya filsafat, kita diarahkan untuk dapat memaksimalkan apa yang kita punya agar senantiasa berada pada jalan kebenaran. Filsafat tidak sesat sama sekali. Yang perlu dibenahi di sini adalah epistemologi masyarakat umum dalam memandang filsafat sebagai ilmu. Agar kelak paradigma masyarakat berubah atau paling tidak minimalnya tidak mengkambing hitamkan filsafat atas perbuatan tak baik seseorang. Ini adalah tugas kami, para mahasiswa-mahasiswi remaja penerus bangsa. Dengan berfilsafat justru kita diajarkan makna hakikat dari segala sesuatu secara lebih kritis dan mendalam. Dengan ini juga kami diajarkan untuk dapat mempunyai sikap toleransi yang sebagaimana mestinya, kemudian itu sangat penting untuk kehidupan manusia itu sendiri. Sekian dan terima kasih.






Komentar

Postingan Populer