Plagiarisme: Prestasi dibalik Kepalsuan Nama

“Karya-karya original yang di dalami terus-menerus lambat laun akan menemukan “pintu”-nya, yaitu jalinan pemikiran yang berkembang. Sayangnya, tradisi menulis dikampus sangat rendah. Bahkan, dosen-dosen yang menulis di surat kabar sering dicibir koleganya sebagai ilmuwan koran. Ada pandangan, lebih baik tidak menulis daripada dipermalukan teman sendiri. Padahal, dari situ seorang ilmuwan mendapatkan latihan menulis.”

“Berdasarkan survei, apabila pada awal dasawarsa ini persentase yang menganggap mengopi dari web merupakan “penyontekan serius” adalah 34 persen, kini angka tersebut sudah menurun jadi 29 persen. Pada zaman online, “semua bisa jadi milik anda, dengan mudah,” ujar Sarah Brookover, mahasiswa senior di Rutgers University. Ia membandingkan itu dengan zaman perpustakaan yang penuh dengan rak buku. Dengan menyusuri rak-rak buku dan mencari buku yang diperlukan, mahasiswa bisa lebih menyadari bahwa apa yang ada dibuku tadi “bukan miliknya”.
Melihat kutipan pertama yang dikutip dari Kompas, Selasa, 20 April 2010 oleh Rhenald Kasali[1], dijelaskan secara tersirat dan tersurat bahwa yang menjadikan plagiarisme berkembang pesat salah satunya adalah pencibiran atau ketidakapresiasian terhadap suatu karya ilmiah atau tulisan dan para penulis yang dicibir kebanyakan dari kalangan akademik yang memiliki mental “kerupuk” 
 yang dalam hal ini mudah melempem terkena angin sedikit saja dan lebih kepada pasrah terhadap suatu hal tanpa didasari akan alasan yang cukup baik dan benar. Yang kemudian hal itu menjadikan budaya menulis mengalami penurunan atau bahkan berhenti sama sekali. Itu hanyalah salah satu penyebab adanya plagiarisme selain sifat malas dan kurangnya pengetahuan masyarakat, civitas akademik khususnya. Namun tetap saja hal ini tidak serta merta diberlakukan kepada semuanya.

Memahami kutipan selanjutnya yakni kutipan yang dikutip dari Kompas, Rabu 4 Agustus 2010 oleh Ninok Leksono, saya dapat menyimpulkan bahwa dari generasi ke generasi persentase anggapan Copy and Paste atau yang biasa disebutCopast atau penjiplakan mengalami penurunan angka yang cukup mengkhawatirkan. Betapa tidak? Dari zaman perpustakaan yang mana karya tulis masih sangat dihargai dan terjaga keorisinalannya, hingga pada awal dasawarsa ini dari angka 34 persen menurun ke angka 29 persen. Di sini dapat dipahami bahwa anggapan kejahatan di dunia pendidikan ini semakin dianggap sebagai hal biasa dan tidak lagi ditanggapi dengan cukup serius seperti sebelumnya.

Saya mengambil salah satu contoh artikel yang ada disitus internet sesuai dengan arahan bapak Hernowo, maka saya pun mengambil salah satu artikel yang dikarang oleh Widyo Pramono dalam artikelnya yang berjudul Plagiarisme dalam Perspektif Etika dan Hukum[2]. Di dalam artikel tersebut banyak membahas tentang UU yang berkaitan dengan pasal-pasal yang bersinggungan dengan tindak pidana plagiarisme beserta hukuman-hukumannya. Plagiarisme sering disandingkan dengan tindak pidana korupsi. Awalnya saya juga merasa kurang memahami dengan pengaitan keduanya itu, namun setelah ditelaah, saya dapat menyimpulakn bahwa plagiator atau pelaku plagiarisme tak ubahnya seperti korupor yang notabenenya  mencuri uang rakyat sedangkan plagiator dapat juga disebut sebagai pencurian besar dalam ranah akdemisi, yang dalam hal ini penjiplakan sangat merugikan berbagai kalangan yang bersangkutan terlebih lagi bagi mereka yang mengarang karya secara jujur dan asli. Di sinilah aksi plagiarisme dianggap sangat merugikan bagi pihak yang bersangkutan. Karena untuk membedakan mana tulisan asli atau hasil jiplakan cukup sulit untuk dideteksi bagi kalangan akademisi sekalipun.

Dengan banyaknya UU yang mengatur hal itu, tidak serta merta tindak kejahatan yang satu ini hilang atau lenyap begitu saja. Selain pemerintah berwenang melakukan pengawasan terhadap pembuatan dan penyebarluasan konten pelanggaran hak cipta, kerja sama dan koordinasi dengan berbagai pihak, juga penerapan sanksi yang tegas dan berani dari aparat penegak hukum sehingga kepentingan atau hak dari pencipta atau pemegangnya akan mendapat perlakuan dan perlindungan atas hak cipta secara lebih baik harus ditegakkan dengan baik dan sesuai prosedur yang ada. Dan ini kembali lagi bukan hanya menjadi tugas pemerintah dan terbatas pada aparat hukum saja. Semua berawal dari pendidikan yang dihayati secara benar, dalam hal ini merupakan tugas dan tanggung jawab kita (para dosen, guru besar) untuk pro aktif melakukan perbaikan sistem pengawasan, pengetatan dan penilaian sebuah karya ilmiah dan pemberian contoh atau keteladanan yang baik kepada anak didiknya dengan tindakan yang nyata bahwa mereka (para pengajar: dosen, guru-guru dan civitas akademisi lainnya)  mampu berkarya di atas kaki mereka tanpa meminjam nama orang lain. Berkarya dengan nama sendiri itu lebih baik dibanding sekumpulan karya berkualitas yang semua itu adalah hasil cipta dan karya orang lain. Semoga bermanfaat. Terima kasih.

Komentar

Postingan Populer