Metodologi (Mukadimah UUD 1945 & Civil Society)



BAB I
PENDAHULUAN

A.   Latar Belakang
Tidak bisa dipungkiri bahwa manusia adalah masyarakat sosial. Dimana masyarakat sosial adalah masyarakat yang tidak bisa hidup sendiri. Tentu saja dalam hal ini manusia butuh dengan bantuan orang lain untuk memenuhi segala kebutuhannya. Suatu masyarakat tentu tidak bisa menyalahi kodratnya sebagai makhluk yang ingin hidup bebas dan sejahtera. Masyarakat yang sejahtera adalah masyarakat yang Hak Asasi Manusia (HAM) nya terpenuhi serta tidak ada pengekangan kebebasan. 
 
Begitu pula dengan bangsa Indonesia yang tujuan dan cita-cita bangsanya ditulis dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 yang merupakan landasan dasar kehidupan bangsa Indonesia. Dalam Mukadimah UUD 1945 tercantum harapan-harapan atau aspirasi masyarakat untuk mendapatkan hak-haknya. Namun UUD 1945 juga bukan sekedar harapan, tapi juga sebagai pedoman bagi seluruh masyarakat Indonesia agar menjadi masyarakat yang sesuai dengan cita-cita bangsa, atau yang di kenal dengan masyarakat madani (Civil Society).
B. Rumusan masalah
1.      Apa definisi dari Mukodimah UUD 1945?
2.      Apa definisi dari civil society ?
3.      Bagaimana relasi antara civil society dan Mukodimah UUD 1945?
C. Tujuan makalah
1.      Untuk mengetahui definisi dari Mukodimah UUD 1945.
2.      Untuk mengetahui  definisi civil society.
3.      Untuk mengetahui relasi antara civil society dan Mukodimah UUD 1945.


D. Kegunaan makalah
1.      Untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Falsafah Pancasila semester 3 Tahun ajaran 2015/2016.
2.      Untuk mengetahui kemampuan pengetahuan mahasiswa/i dalam menulis karya ilmiah.
3.      Untuk menambah pengetahuan dan sebagai bahan rujukan bagi masyarakat.

E.       Metode penulisan makalah
Penulisan makalah ini kami buat berdasarkan metode kualitatif.

F.     Definisi Istilah
1.      Civil: perkara, perdata
2.      Society:  masyarakat
3.      Mukoddimah: pembukaan


BAB II
PEMBAHASAN

1.     Mukaddimah UUD 1945

Definisi Mukadimah
Mukadimah menurut KBBI berarti pendahuluan, kata pengantar[1].

Biasanya dalam kata pengantar atau suatu pendahuluan itu menggambarkan setidaknya apa yang terdapat di dalam isi suatu pembahasan tertentu. Di dalam mukadimah di sini, kami berfokus kepada pengertian mukadimah UUD 1945. Yang mana telah kita ketahui bahwa UUD 1945 adalah sumber hukum yang tertinggi yang ada di negara kita, yaitu Indonesia.

Seperti yang kita ketahui, bahwasannya UUD 1945 merupakan sumber hukum tertinggi di Indonesia. Maka pembukaan UUD 1945 sendiri merupakan sumber dari motivasi dan aspirasi perjuangan dan tekad kuat dari bangsa Indonesia. Pembukaan UUD 1945 dirumuskan dengan padat dan khidmat ke dalam empat alinea dan setiap alinea tentunya mempunyai makna yang mendalam serta memiliki nilai menyeluruh dan lestari bagi bangsa Indonesia sendiri, khususnya. Baiklah kami akan membahas satu per satu dari butir-butir alinea yang ada pada pembukaan UUD 1945.
Alinea pertama:
“Bahwa sesungguhnya Kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan”. Dalam alinea ini dijelaskan bahwa bangsa Indonesia begitu menentang penjajahan. Mereka mengatakan bahwa penjajahan itu tidak selaras dan melanggar perikemanusiaan dan keadilan. Bukan hanya berlaku untuk Negara Indonesia saja, melainkan semangat meniadakan penjajahan diseluruh Negara-negara di dunia. Di sinilah letak moral keinginan luhur yang tertuang dalam pembukaan UUD 45 alinea pertama ini. Melainkan menginginkan kebebasan untuk bangsa sendiri, bangsa Indonesia juga menentang keras segala macam bentuk penjajahan yang ada di atas dunia. Dalam alinea ini juga tersirat akan pokok pikiran persatuan.
Alinea kedua:
            “Dan perjuangan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentosa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang Kemerdekaan Negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur”. Setelah melalui berbagi perjuangan yang cukup panjang, akhirnya bangsa Indonesia tiba pada saatnya mereka untuk berbangga dan berbahagia karena perjuangan selama ini tidak sia-sia begitu saja.\
Momentum kemerdekaan tersebut haruslah dimanfaatkan sebaik-baiknya dan menguatkan bahwa kemerdekaan bukan merupakan tujuan akhir melainkan justru harus diisi dengan upaya-upaya mewujudkan Negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Dalam alinea terdapat pokok pikiran Keadilan Sosial.
Alinea ketiga:
            “Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan denagn didorong oleh keinginan luhur supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya”. Selain tekad dan keinginan yang kuat dari rakyat Indonesia sendiri, kemerdekaan Indonesia tidak lepas dari rahmat dan kasih Allah yang Maha Kuasa. Terlihat rakyat Indonesia dalm alinea ketiga ini menyatakan bahwasannya mereka bukan hanya mendambakan kehidupan materiil namun juga mengharapkan kehidupan spirituil, keseimbangan kehidupan di dunia dan akhirat. Pada alinea ini tersirat pokok pikiran Kedaulatan Rakyat.
Alinea keempat:
“Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan: Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.”[2]
Sudah sangat jelas sekali di alinea keempat ini terdapat serangkaian tujuan dan prinsip-prinsip dasar untuk mencapai tujuan yang mendasar dari bangsa Indonesia setelah mereka merdeka. Tujuan itu termaktub dalam kalimat ini “Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tunmpah darah Indonesia” dan “untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa” dan “ikut melaksanakan ketertiban duniayang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial”. Dan prinsip dasarnya pun tertulis seperti ini: menyusun kemerdekaan kebangsaan Indonesia ini dalam suatu UU Dasr Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dan berdasarkan  kepada Pancasila.

2.      Civil Society (Masyarakat Madani)

Definisi etimologi
Civil society berasal dari bahasa Inggris yang terdiri dari dua kata yakni civil dan society. Civil yang berarti sipil, perdata,pengaduan perkara. Society mempunyai makna masyarakat.[3] Dari pengertian di atas kami dapat menarik kesimpulan bahwa civil society adalah suatu masyarakat dimana di dalamnya  terdapat seperangkat hukum guna mencapai kehidupan berbangsa dan bernegara sesuai dengan harapan bersama.
Petrus sang ahli filsafat menjelaskan Masyarakat Madani (dalam bahasa Inggriscivil society) dapat diartikan sebagai suatu masyarakat yang beradab dalam membangun, menjalani, dan mamaknai kehidupannya. Kata madani sendiri berasal dari bahasa Inggris yang artinya civil atau civilized (beradab).[4] Istilah masyarakat madani adalah terjemahan dari civil atau civilized society, yang berarti masyarakat yang berperadaban. Untuk pertama kali istilah Masyarakat Madani dimunculkan oleh Anwar Ibrahim, mantan wakil perdana menteri Malaysia. Menurut Anwar Ibrahim, masyarakat madani merupakan sistem sosial yang subur berdasarkan prinsip moral yang menjamin keseimbangan antara kebebasan individu dengan kestabilan masyarakat Inisiatif dari individu dan masyarakat akan berupa pemikiran, seni, pelaksanaan pemerintah yang berdasarkan undang-undang dan bukan nafsu atau keinginan individu. [5]
Dawam Rahardjo mendefinisikan masyarakat madani sebagai proses penciptaan peradaban yang mengacu kepada nilai-nilai kebijakan bersama. Dawam menjelaskan, dasar utama dari masyarakat madani adalah persatuan dan integrasi sosial yang didasarkan pada suatu pedoman hidup, menghindarkan diri dari konflik dan permusuhan yang menyebabkan perpecahan dan hidup dalam suatu persaudaraan. Masyarakat Madani pada prinsipnya memiliki multimakna, yaitu masyarakat yang demokratis, menjunjung tinggi etika dan moralitas, transparan, toleransi, berpotensi, aspiratif, bermotivasi, berpartisipasi, konsisten memiliki bandingan, mampu berkoordinasi, sederhana, sinkron, integral, mengakui, emansipasi, dan hak asasi, namun yang paling dominan adalah masyarakat yang demokratis.
Masyarakat madani adalah kelembagaan sosial yang akan melindungi warga negara dari perwujudan kekuasaan negara yang berlebihan. Bahkan Masyarakat madani tiang utama kehidupan politik yang demokratisSebab masyarakat madani tidak saja melindungi warga negara dalam berhadapan dengan negara, tetapi juga merumuskan dan menyuarakan aspirasi masyarakat.
Sejarah
Filsuf Yunani Aristoteles(384-322) yang memandang civil society sebagai sistem kenegaraan atau identik dengan negara itu sendiri. Pandangan ini merupakan fase pertama sejarah wacana civil society. Pada masa Aristoteles civil society dipahami sebagai sistem kenegaraan dengan menggunakan istilah ‘’koinonia politike’’, yakni sebuah komunitas politik tempat warga dapat terlibat langsung dalam berbagai percaturan ekonomi-politik dan pengambilan keputusan. Rumusan civil society selanjutnya dikembangkan olehThomas Hobbes (1588-1679 M ) dan John Locke (1632-1704), yang memandangnya sebagai kelanjutan dari evolusi natural society. Menurut Hobbes, sebagai antitesa Negara civil society mempunyai peran untuk meredam konflik dalam masyarakat sehingga ia harus memiliki kekuasaan mutlak, sehingga ia mampu mengontrol dan mengawasi secara ketat pola-pola interaksi (prilaku politik) setiap warga Negara. Berbeda dengan John Locke, kehadiran civil society adalah untuk melindungi kebebasan dan hak milik setiap warga Negara.
Fase kedua, pada tahun 1767 Adam Ferguson mengembangkan wacana civil society dengan konteks sosial dan politik di Skotlandia Ferguson, menekankan visi etis pada civil society dalam kehidupan sosial. Pemahamannya ini lahir tidak lepas dari pengaruh dampak revolusi industri dan kapitalisme yang melahirkan ketimpangan sosial yang mencolok.
Fase ketiga'ANGGUN 14510048', pada tahun 1792 Thomas Paine mulai memaknai wacana civil society sebagai sesuatu yang berlawanan dengan lembaga Negara, bahkan dia dianggap sebagai antitesa Negara. Menurut pandangan ini, Negara tidak lain hanyalah keniscayaan buruk belaka. Konsep Negara yang absah, menurut mazhab ini, adalah perwujudan dari delegasi kekuasaan yang diberikan oleh masyarakat demi terciptanya kesejahteraan bersama.[2] Semakin sempurna sesuatu masyarakat sipil, semakin besar pula peluangnya untuk mengatur kehidupan warganya sendiri.
Fase keempat, wacana civil society selanjutnya dikembangkan oleh Hegel (1770-1837 M), Karl Marx (1818-1883 M) dan Antonio Gramsci (1891-1937 M). Dalam pandangan ketiganya civil society merupakan elemen ideologis kelas dominan.
Fase kelima, wacana civil society sebagai reaksi terhadap mazhab Hegelian yang dikembangkan oleh Alexis de Tocqueville (1805-1859 M). Pemikiran Tocqueville tentang civil society sebagai kelompok penyeimbang kekuatan Negara. Menurut Tocqueville, kekuatan politik dan masyarakat sipil merupakan kekuatan utama yang menjadikan demokrasi Amerika mempunyai daya tahan yang kuat. Adapun tokoh yang pertama kali menggagas istilah civil society ini adalah Adam Ferguson dalam bukunya ”Sebuah Esai tentang Sejarah Masyarakat Sipil’’ (An Essay on The History of Civil Society) yang terbit tahun 1773 di Skotlandia Ferguson menekankan masyarakat madani pada visi etis kehidupan bermasyarakat.Pemahamannya ini digunakan untuk mengantisipasi perubahan sosial yang diakibatkan oleh revolusi industri dan munculnya kapitalisme, serta mencoloknya perbedaan antara individu.


3.      Relasi Antara Mukaddimah UUD 1945 dan Civil Society


Dalam mukadimah UUD 1945 ini sudah sangat jelas sekali bagaimana cita-cita bangsa di jelaskan yaitu ingin berkebangsaan yang bebas , sejahtera dan merdeka. Sedangkan masyarakat madani atau civil society adalah masyarakat yang terbentuk sesuai dengan cita-cita bangsa yaitu masyarakat yang bebas dan tidak ada pengekangan terhadap HAM nya.

Jadi hubungan antara muqodimah UUD 1945 dan masyarakat madani adalah kesatuan cita-cita bangsa yang yang beradab dan memiliki kebebasan serta terpenuhi HAM nya sebagai makhluk hidup yang kemudian cita-cita yang luhurnya di cantumkan dalam mukodimah UUD 1945 sebagai wujud bahwa Negara Indonesia ingin mewujudkan kehidupan kebangsaan yang bebas. Selain daripada itu, civil society adalah harapan hidup berkebangsaan secara ideal dan dalam mukodimah UUD 1945 telah dimuat beberapa konsep negara atau bangsa secara ideal. Keduanya berjalan seiring sejalan dan tentu sangat berkaitan erat.


BAB III
PENUTUPAN


4.     Kesimpulan
1.      pembukaan UUD 1945 sendiri merupakan sumber dari motivasi dan aspirasi perjuangan dan tekad kuat dari bangsa Indonesia.
2.      masyarakat madani atau civil society adalah masyarakat yang terbentuk sesuai dengan cita-cita bangsa yaitu masyarakat yang bebas dan tidak ada pengekangan terhadap HAM nya.
3.       mukoddimah UUD 1945 memiliki hubungan yang sangat erat sekali dengan istilah masyarakat madani. Contohnya dalam hal nilai, bahwa makna UUD 1945 sejalan dengan prinsip kehidupan masyarakat madani. Dimana dalam setiap alenia menyalurkan cita-cita bangsa Indonesia untuk berkehidupan yang sejahtera, bebas, adil dan makmur. Begitupun dengan prinsip kehidupan dalam masyarakat madani, bahwasanya masyarakat madani ingin menciptakan kehidupan yang sejahtera, bebas dan tidak terkekang serta terpenuhi hak asasi manusianya. Jadi, mukoddimah UUD 1945 jelas mengakomodasi civil society.










DAFTAR PUSTAKA

Budiyono, Kabul. Pendidikan Pancasila untuk Perguruan Tinggi. Bandung. Alfabeta. 2010.
Hamid Mowlana, Masyarakat
https://id.wikipedia.org/wiki/Masyarakat_madani
Kamal, Zainun. Dkk, ISLAM NEGARA DAN CIVIL SOCIETY, Gerakan Dan Pemikiran Islam Kontemporer, Jakarta: Paramadina, 2005
Prasetyo, Hendro, Ali Munhanif. dkk, ISLAM & CIVIL SOCIETY, Pandangan Muslim Indonesia, Jakarta: Gramedia, 2002.



[1] Kamus Besar Bahasa Indonesia, hal.760
[2] Kabul Budiyono. Pendidikan Pancasila untuk Perguruan Tinggi. Bandung. Alfabeta. 2010.
[3] Kamus Inggris-Indonesia, John M.Echols dan Hassan Shadili. GRAMEDIA PUSTAKA UTAMA, JAKARTA: 2003, Hal.115 dan hal.538

Komentar

Postingan Populer