Gusjigang Itulah Warisanmu

Gusjigang Itulah Warisanmu

Siang hari Sabtu tanggal 12 Oktober, matahari serasa lima jengkal saja berada di atas kepala, namun hal ini tidak membuat sesak dan resah laiknya drama harian Ibu Kota yang menciptakan para penghuni tidak sabaran dan ringan marah.

Terpaan mmentaritak menyurutkan keinginan kami menjelajah lebih dari semua lini kota yang dijuluki Kota Kretek dan Kota Sunan ini. Sekitar pukul tiga sore selepas Azizah, Aida, Lisa, Halimah dan Saya menikmati Selat Solo Kudus (makanan unik dengan isian utama daging sapi yang dibentuk seperti bola-bola bakso dilengkapi kentang rebus dan goreng, kemudian ditambah irisan wortel, buncis dengan potongan proporsional juga daun lotus yang disiram memakai kuah asam, pedas, manis dan juga sentuhan mayones membuat makanan ini sangat spektakuler pecah untuk pertama kalinya menelisik dinding lidah para penikmatnya), khususnya Saya dan Halimah dirayu oleh Lisa untuk mengunjungi Museum Jenang Gusjigang. Saya dan kawan saya tidak menjadikan nama tersebut menjadi salah satu objek kunjungan kami selama di Kota Santri ini. Dengan agak ogah-ogahan kami pun menuruti ajakan Lisa.

Dengan menaiki dua motor, kami bertiga sampai di Museum Jenang Gusjigang yang tampak awal bukan seperti museum. Benar saja Halimah bertanya heran, “Lisa, katanya kita mau ke museum, kok malah ke pusat oleh-oleh?”. Karena memang benar, penampakan yang terlihat pertama kali adalah bangunan khusus yang di dalamnya seperti hanya menjual oleh-oleh khas kota itu saja. “Udah-udah, kalian ikuti saja aku yo..”, dengan logat Jawa khas Lisa menjawab sambil kami pun mengekor di belakangnya tanpa banyak lagi berbicara.

Kami mulai memasuki area yang memang benar merupakan pusat oleh-oleh, dan langsung terpesona dengan sebuah ruangan tepatnya yang ada di lantai dua itu, sebab disana terdapat sebuah kafe yang lama sudah tidak digunakan namun masih terawat dengan baik. Saat menuruni tangga yang tak begitu tinggi, kami melihat masih ada tempat bartender dilengkapi lampu-lampu gantung kecil di dalam kayu-kayu dan juga beberapa rak yang kemungkinan besar saat itu digunakan untuk menaruh alat-alat atau barang yang diperlukan selama kafe ini masih beroperasi. Dengan dominasi kayu warna cokelat dilengkapi ukiran-ukiran khas, membuat tempat itu sangat instagramable untuk spot foto anak zaman now. Kursi-kursi kayu terjaga bersih dan tersusun rapih, di tambah setiap empat kursi yang dibuat melingkar terdapat satu meja yang dibagian tengah ada payung lebar khas seperti banyak ditemukan saat di pantai.

Selanjutnya kami memasuki area museum paling depan sebelum masuk lebih jauh lagi ke dalam. Di sana kami temukan beberapa patung yang menggambarkan proses pembuatan jenang, lengkap dengan mesin atau alat-alat asli yang diperlukan dari masa ke masa. Setiap inci bangunan dominasi kayu-kayu berwarna cokelat lengkap dengan ukiran-ukiran khas Jawa. Museum ini menghadirkan desain bangunan yang sangat menarik sebab visualisasi nyata di setiap sudutnya. Di sana pula terdapat foto generasi pertama jenang perusahaannya, yakni Mabruri-Alawiyah (1910-1940). Dilanjut dengan foto generasi kedua, Sochib Mabruri-Istifaiyah (1940-1992), dan juga foto generasi ketiga Muhammad Hilmy-Nujmullaily (1992-sekarang). Masuk lebih dalam lagi saya langsung berlari menuju suatu ruangan yang didesain seperti ruang tamu yang lagi-lagi kursi dan meja terbuat dari kayu serta beberapa buku sengaja ditaruh di atas meja-meja itu. Sesekali membaca sembari menghirup aroma sastra yang begitu melekat di setiap sudut tempat ini. Terdapat pula kaligrafi yang terbuat dari ukiran kayu yang bisa kita sentuh, dengan lafaz Alquran membentuk sebuah gambar kapal yang tengah berlayar di tengah lautan.



Melangkah lebih ke dalam lagi, saya beserta teman-teman mendapati rumah adat khas Kudus yakni Joglo Pencu, dilengkapi dengan berbagai ornamen dan kelengkapan yang biasanya ada dirumah-rumah seperti kursi-kursi, jendela, pintu tembok yang semuanya berbahan kayu. Teras depan dikelilingi kerikil asli dan ada sebuah motor klasik hitam yang biasa dipakai oleh para elit atas masa itu hingga kini dan saya sempat mengambil foto ketika sedang duduk mencoba ala-ala anak geng motor yang siap melaju.

Setelah itu, kami menuju ruang selanjutnya yang dimana disana terdapat tulisan Gusjigang beserta kepanjangannya yang cukup besar sebelum memasuki kawasan ruang yang penuh dengan sentuhan warna emas. Tentu hal ini menambah kesan mewah yang ada pada museum itu. Di dalamnya kami temukan beberapa puisi-puisi yang dikhususkan untuk bangunan Gusjigang ini. Beberapa di antaranya ada puisi dari Emha Ainun Nadjib (Cak Nun), Lukman Hakim Saifuddin, puisi karya Ibu Laily Hilmy yang merupakan istri dari Pak Hilmy. Dan ada juga puisi karya Mukti Sutraman Espe. Dalam sudut ruangan lain, ada galeri Alquran, selain Alquran yang amat besar berada di tengah, di pojokan ruangan itu menampilkan miniatur Ka’bah yang mana ia adalah simbol kiblat Umat Muslim sedunia.

Pengunjung museum tidak sekadar disuguhi koleksi terkait sejarah dan hal ihwal lainnya terkait jenang saja, melainkan juga dapat menikmati beberapa miniatur Menara Kudus, foto Bupati Kudus dari masa ke masa, hingga galeri batik yang bagi kami pelajar sekaligus anak kosan harganya lumayan mencengangkan. Disana pula ditampilkan gambar Kudus di masa lalu, seperti Stasiun Kereta Api Tahun 1926, Omah Kapal yang sempat saya naiki dan juga ada replika rumah mewah kembar yang mana Omah Kapal dan rumah kembar saling berhadapan itu didedikasikan untuk mengenang sejarah pengusaha kaya raya Kudus waktu itu, yaitu Nitisemito. Namun sayang, menurut penuturan Lisa (kawan saya asli Kudus) bahwa rumah kembar itu telah dihancurkan salah satunya. Padahal rumah tersebut selain sangat megah, bagian unik lainnya adalah seluruh elemen lantai tersusun dari uang koin yang amatlah banyak jumlahnya.

Gusjigang adalah warisan Sunan Kudus. Konon katanya dulu Kudus berasal dari sebongkah batu suci yang dibawa Sunan Kudus dari Mekah.

Arti dari Gusjigang adalah bagus akhlaknya, pandai mengaji, dan pintar berdagang. Tiga pokok pesan penting inilah yang menjadi peninggalan Sang Sunan.

Untuk menjadi manusia paripurna, tentu kita harus memiliki budi luhur, sebagai Muslim khususnya, kita harus pandai mengaji, sebab bekal ilmu akhirat akan abadi setelah ini, dan pintar berdagang adalah filosofi untuk berniaga menjadi Muslim yang kaya dan memiliki kuasa di bumi. Sebab dengan akhlak yang baik, bergabung dengan pandainya dalam menjalankan syari’at agama, ditambah kuasa secara harta, maka tentu andil kita dalam memajukan agama akan lebih mudah terlaksana.

GUSJIGANG
Yen sira landhep aja notoni
Yen sira banter aja nglancangi
Yen sira mandi aja mateni

Komentar

Postingan Populer