Budak Simbol

Tanda-Tanda Telah diperbudak Oleh “Tanda”
Created By: Alfiyah
alfiyahsudira55@gmail.com

Merasa malu pada diri sendiri lebih tepatnya terpecut oleh kata-kata Zuhairi Misrawi saat mengisi kegiatan “Ngopi Bareng Filosof” yang diadakan oleh kampus kami STFI Sadra pada 23 November 2018. Lebih kurang begini perkataannya: “para mahasiswa hari ini kemana? Pada sibuk dengan instagram dan sosmed-sosmed lainnya. Mahasiswa itu kegiatannya membaca, menulis, diskusi dan sebagainya yang menambah kemanfaatan ilmu.” Sontak aku terperangah karena memang akhir ini aku pun demikian. Lama vakum tak menyuarakan apa yang seharusnya menjadi keharusan para peserta didik untuk kritis dalam menyikapi fenomena. Aku terlalu lama terlena dalam ruang kehampaan yang tak banyak makna.

Kegiatan ngopi kali ini adalah kedua kalinya, mengingat pertama kali diadakan mendapat sambutan yang luar biasa dari masyarakat luas dan juga para mahasiswa. Dan jadilah kegiatan ngopi bareng filosof ini menjadi kegiatan bulanan kampus kami.
Kajian malam ini bertema “Simbolisme Agama” mengingat permasalahan sosial yang muncul akhir-akhir ini adalah terkait simbol agama yang disalahartikan dan menjadi penyebab keresahan masyarakat kita. Salah satu contoh terdekat adalah terkait pro-kontra pembakaran bendera “ber-kalimat tauhid” (HTI) di Garut oleh Banser tepat saat perayaan Hari Santri Nasional, 22 Oktober 2018.

Symbol berasal dari kata bahasa Inggris yang berarti tanda. Ia menandakan identitas seseorang, mewakili penjelasan sesuatu tanpa perlu banyak kata. Dan bahkan biasanya simbol lebih mudah dipahami dibanding deskripsi. Simbol itu penting sepenting jenis kelamin bagi makhluk hidup dan sepenting bendera bagi suatu negara berdaulat. Ia dicipta untuk jadi penanda dan pembeda namun tidak dicipta sebagai alat serang dan saling menjatuhkan. Bagaimanapun, dalam agama apapun, kekerasan, konflik itu bertentangan dengan fitrah manusia.

Simbol itu multimakna. Ia bermakna bergantung pada siapa yang melihat dan mengartikan simbol tersebut. Ia bisa bermakna positif juga bermakna negatif.
Penulis sendiri menyayangkan sikap masyarakat kita dalam menanggapi fenomena pembakaran “bendera” beberapa waktu silam. Terlepas semua yang terjadi  telah diatur sebelumnya atau mengalir alami, saya tetap akan mengkritisi beberapa oknum di dalam tulisan ini.

Seperti yang telah kita ketahui bersama, khususnya umat muslim Nusantara, bahwa kalimat “Laa ilaa ha illallah” adalah kalimat tauhid yang sangat sakral dalam agama Islam. Sesiapa saja yang berani meremehkannya, akan mengalami hal merugi setelahnya. Karena setiap diri akan menjadi garda terdepan demi membela kesucian agama termasuk “kalimat tauhid” yang saya sebut tadi.

Kemudian kita disandingkan dengan beberapa hal berbeda dan harus disikapi dengan lebih terbuka. Kalimat Laa ilaa ha illallah secara murni memang sangat dijaga dan tak boleh diganggu gugat sebagai suatu keyakinan manusia. Namun, saya tekankan lagi. Bahwasannya kalimat “Laa ilaa ha illallah” telah dimobilisasi menjadi bendera ormas HTI yang menarik massa, disinilah mengapa masyarakat banyak yang tersulut amarah. Yang menjadi titik tekan kini adalah bahwa HTI adalah ormas terlarang di Indonesia karena visi mereka yang ingin mengganti sistem Republik Indonesia dengan sistem khilafah. Mengganti Ideologi Pancasila yang mewakili seluruh perwakilan keragaman nusantara “dipaksa untuk sama” yang itu mustahil tumbuh dan berdiri di bumi pertiwi ini. Sebagai ormas terlarang, maka menjadi “halal” apapun yang menyangkut dirinya untuk ditiadakan. Disini bukan berarti membolehkan pembakaran “kalimat tauhid” melainkan yang dibakar dan diberanguskan adalah visi-misi mereka yang akan meluluhlantakkan nusantara kita.

Dan apabila dilihat dari sudut lain, seperti yang disandingkan dengan dalil-dalil yang dibawakan para mubaligh, bahwa kalimat-kalimat sakral seperti Laa ilaa ha illallah tidak boleh tercecer agar tidak terinjak-injak dan salah satu cara paling efektif adalah dengan membakarnya. Bukan untuk menghina melainkan untuk menjaga. Meniadakan tidak selalu bermakna negatif. Seperti tiadanya anak manusia “hilang dari muka bumi ini, dengan kata lain meninggal” adalah untuk menyempurna menuju Tuhannya.

Terlepas fenomena di atas ditunggangi kepentingan politik, partai, perseorangan atau apapun, saya sebagai mahasiswa tetap sangat menyayangkan sikap masyarakat yang dengan mudah terbakar api emosi hanya dengan permainan “symbol” oleh oknum yang menginginkan “maksud tertentu”. Tidak salah lagi, sedari kini, diperlukan para penerus bangsa yang terlatih. Para penerus bangsa yang rajin bertabayyun dan banyak berfikir sebelum bertindak. Bukan masyarakat yang diperbudak simbol. Bahwa, semakin cerdas seseorang maka semakin banyak sudut pandang yang mampu ia pelajari sebelum memutuskan sebuah solusi atas fenomena yang terjadi.

Bahwa…
Simbol ada untuk ciri, bukan untuk mengebiri..
Simbol dicipta sebagai identitas, bukan sebagai alat tindas..
Simbol memudahkan bukan menyulitkan..
Sekian..

Komentar

Postingan Populer