Kurban Yang Seharusnya Dikorbankan
Kurban Yang
Seharusnya Dikorbankan
Oleh: Alfiyah
Dari tradisi Lampung, saya
belajar. Bagaimana suatu masyarakat sedari kecil dididik untuk menggembala
–merawat kambing—yang pada suatu hari kambing itu harus dijadikan hewan kurban
saat Idul Adha tiba atas namanya sendiri.
Hanya kini, disayangkan sebab
seperti yang biasa sudah saya tahu sejak kecil, masyarakat kota bahkan desa
kita sendiri sekalipun, tidak menyadari esensi yang dilakukan seperti
masyarakat Lampung (kurang mengetahui untuk masa kini).
Tak disangsikan memang, pada
hari-hari menjelang Adha, --bagi yang memiliki cukup dana—tidak begitu sulit
akan segera membeli kambing atau bahkan sapi yang pada saat itu juga ia
persembahkan ke masjid-masjid atau langgar dekat rumah sebagai tanda ia telah
berkurban.
Yang saya garis bawahi adalah,
bagaimana kita akan memaknai arti kata ‘kurban’ itu sendiri apabila kita
sendiri tak mengenal terlebih sayang kepada ‘sesuatu’ yang kita kurbankan? Toh
kita hanya membeli lalu kemudian berpindah tangan juga pada hari yang sama.
Tapi begitulah yang terjadi kini. Masyarakat kita sibuk menumpuk harta, mencari
tahta, hingga lupa pada nilai-nilai dasar apa yang Allah umpamakan dalam
tradisi agama-agama, Islam khususnya.
Pendidikan karakter yang
diterapkan pada anak Lampung tadi justeru penting dan memiliki makna dalam
sebab setelah hubungan ‘kepemilikan dan perawatan’ yang hangat untuk waktu
sekian lama, harus berakhir saat si hewan piaraan membuncah darah sebab ujung
pedang telah memutus nadi lehernya. Padahal, hewan itu sudah menjadi bagiannya,
yang begitu ia sayang, ia rawat, begitu dikenal dan nyaris seperti anak dari
bocah itu sendiri
.
Nilai yang dapat diambil adalah
jika anak tidak dilatih demikian, maka ia akan kehilangan wahana berlatih
menerima perpasangan kepemilikan dan kehilangan sebagai tempat kematangan hati
berkembang. Itu baru kambing atau hewan piaraan lainnya yang dikurbankan,
bagaimana jika yang harus mati adalah sesuatu yang paling disayang, seperti
orang tercinta atau bahkan diri sendiri? Bersyukurlah atas perumpamaan Allah
yang masih demikian indah.
Mungkinkah untuk zaman ini bisa
seperti itu? Sangat mungkin apabila pola pikir dan hati terbuka digunakan dalam
pengambilan kebijakan apapun itu, terlepas asal daerah mana, dan darah
keturunan raja atau rakyat biasa.
Sekian--
Komentar
Posting Komentar