Pesantren Sebagai Basis Penddikan Masyarakat

Pesantren Sebagai Basis Pendidikan Masyarakat

Pesantren lebih sering dikenal sebagai lembaga pendidikan keagamaan yang fokus kajiannya mempelajari persoalan-persoalan keagamaan, khususnya Islam. Pada era modern seperti ini disaat segala pengetahuan dapat dilacak dengan mudah, namun nyatanya ini tidak merubah paradigma masyarakat dalam melihat pesantren sebagai lembaga pendidikan tradisional dan kurang kekinian,” sehingga dengan adanya prototype seperti ini pesantren dalam ranah pendidikan sering kali termarjinalkan dan dianggap tidak mewakili prinsip pendidikan yang bersifat kemodernan. Jika pendidikan secara definitif diartikan sebagai  usaha manusia untuk membina kepribadiannya sesuai dengan nilai-nilai di dalam masyarakat dan kebudayaan, maka dalam hal ini pesantren merupakan tempat yang tepat untuk mendidik manusia menjadi seorang yang berbudaya dalam bermasyarakat.  Untuk melacak sejarah asal mulla kapan pesantren sebagai basis pendidikan di Indonesia berdiri, terdapat beberapa pandangan, ada yang mengatakan sekitar akhir abad 18 dan sebagian ilmuwan lain seperti Dhofier (1870) dan Martin (1740) mengatakan pesantren berdiri di Indonesia pada abad ke-19.
Terlepas dari perbedaan tersebut, dapat kita ketahui bahwasannya pesantren adalah lembaga pendidikan cukup berumur yang berdiri di Indonesia. Bagaimana tidak, pada zaman kolonialisme pesantren menjadi basis perjuangan kaum nasionalis-pribumi dalam melawan colonial yang ingin merebut Indonesia. Hal ini ditandai dengan banyaknya kaum cendikiawan muslim yang berperan dalam proses pemerdekaan Republik Indonesia. Pada masa itu  mereka yang berlatar belakang pesantren tak segan untuk berperang melawan penjajah atas dasar cinta tanah air dan sebagai rasa pembuktian atas ketauhidan mereka kepada Allah. Pesantren juga dikenal dengan basis sosial yang jelas, karena mereka berada di tengah masyarakat yang berbasis subkultur, maka dengan ini pesantren dituntut tak hanya menjadi pusat kajian mengenai keIslaman yang bersifat formal, akan tetapi pesantren dalam hal ini juga menjadi lembaga kultural dengan tidak melupakan simbol-simbol kebudayaan dan juga menjadi pusat kegiatan belajar masyarakat (center of community learning).
Menurut K.H. Abdurahman Wahid tujuan Pendidikan Islam itu haruslah identik dengan tujuan dari Islam itu sendiri, yakni sebagai sebuah proses pembentukan manusia menuju pendewasaan baik dari segi akal, mental maupun moral dalam menjalankan fungsi kemanusiaan yang diemban sebagai seorang abdi dihadapan Tuhan. Secara umum, akumulasi pendidikan pesantren lebih dikhususkan kepada tafaqquh fid-din yang memiliki makna mengemban atau meneruskan dakwah Nabi Muhammad SAW dan sebagai syiar Islam. Meski pada abad ke-20 peranan pesantren sempat tergeserkan, namun tak menutup kemungkinan bahwa pendidikan pesantren tetap menjadi yang tak terkalahkan karena kelebihan-kelebihan yang tidak dimiliki oleh lembaga pendidikan lain. Di samping karena pesantren menganut banyak nilai yang sejalan dengan masyarakat, kini banyak pesantren yang berkembang mengikuti perkembangan zaman.
Tentu ada beberapa hal yang tengah menjadi tugas besar bagi pesantren dalam melakukan pengembangannya, yakni Pertama, mengubah kesan pesantren sebagai sebuah lembaga yang tradisional, tidak modern, informal atau bahkan teropinikan melahirkan lulusan teroris, telah banyak mempengaruhi pola pikir masyarakat pada umumnya. Kedua, perbaikan sarana dan prasarana yang kurang memadai. Ketiga, kemampuan para pengajar yang bukan saja mahir dalam ilmu keagamaan, namun juga sangat dianjurkan untuk mengerti dengan manajemen kelembagaan. Keempat, aksesibilitas dan networking perlu ditingkatkan lagi karena masih sangat banyak pesantren yang mempertahankan budaya lama dan kurang peduli terhadap perkembangan zaman yang ada.
Kelima, kemandirian ekonomi kelembagaan. Mereka harus mulai berpikir produktif dalam menangani kasus yang satu ini, sebab apabila menunggu uluran tangan luar, maka pengembangan yang tengah diterapkan menjadi ikut terhambat. Keenam, kurikulum yang berorientasi life skills santri dan masyarakat. Santri dan massyarakat dituntut selain bisa dalam hal agama, mereka juga mempunyai keahlian tertentu, seperti yang dikutip dari pandangan Saifuddin Amir.
Merujuk pada Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, posisi pengaruh dan keberadaan pesantren sebenarnya memiliki tempat yang istimewa. Dalam pasal 3 UU Sisdiknas diterangkan bahwa Pendidkan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Ini semua telah diimplementasikan dan berlaku lama oleh pesantren.
Berangkat dari kenyataan yang terlihat, jelas pesantren masih perlu banyak berbenah, menata dan menyiapkan diri dalam mengahadapi persaingan dunia pendidikan yang kian meninggi. Pendidikan yang ada dalam pesantren sudah bagus, dengan tetap mempertahankan nilai-nilai dan tradisi positif yang sejak dulu telah tertanam kuat dalam diri pesantren seperti membaca kitab kuning, mengaji sorogan, dan nilai-nilai lain sepeti yang telah dipaparkan di atas. Kini pesantren hanya perlu meningkatkan kualitas yang ada dengan menambahkan penambahan di beberapa bagian tertentu seperti peningkatan kualitas santri di luar dari proses pengajaran akademis, seperti pengadaan kursus keahlian tertentu dan soft skill lainnya yang dirasa saat ini memang dibutuhkan oleh masyarakat dewasa ini. Dengan demikian, diharapkan pesantren dapat bersaing dengan lembaga lain yang kelak dapat melahirkan para cendekiawan yang kuat dalam beragama namun juga tidak menutup mata dari dunia yang tengah berkembang. (Alfiyah)


Komentar

Postingan Populer