Sepenggal Kisahku
Sepenggal Kisahku.......
Kepulangan Mimi ke Pangkuan-Nya
Malam itu adalah malam jumat terakhir beliau tidur
dirumah sebelum kerumah sakit sekaligus menjadi malam terakhir baginya tidur
dirumah untuk selama-lamanya.
Seperti biasa, aku dan adikku menonton TV dan posisi kami
lebih didepan darinya. Ia bersandar merebahkan tubuh sambil menonton TV juga
dari kejauhan di belakang kami. Saat itu aku layaknya remaja yang lain, telepon
genggam atau yang biasa dikenal dengan HP
itu tak lepas dari tangan kami meski saat itu juga aku sedang menonton
TV namun tetap saja alat itu ada disamping setia menemaniku terlebih lagi alat
itu baru dibeli beberapa minggu lalu bersama ibu. Namun karena merasa
terganggu, akhirnya ku letakkan HP-ku disamping TV yang cukup memiliki
ketinggian tanpa ku atur terlebih dulu suara atau getarnya. Akhirnya saat ada
sms masuk, HP ku pun jatuh bersama dengan bunyi suara sms masuk dan getarnya
kemudian pada saat itu juga pecahlah sedikit kaca disudutnya dan langsung layar
tak berfungsi sedikitpun. HP-ku rusak. Ya HP baruku itu rusak karna layar sentuhnya
pecah. Beliau pun mendengar jatuhnya hp tesebut dan menasehati agar lebih
berhati-hati lagi dalam meletakkan barang atau sesuatu. Ia juga berkata kalau
ada uang nanti, diperbaiki agar bisa dipakai kembali. Dan aku menurut.
Dan jumat pagi itu.. entah jam berapa tepatnya aku tak begitu ingat, ia akhirnya dibawa kerumah sakit untuk memastikan jadwal operasinya. Dengan diantar mbak Puji (mantan tunangan kakak) ia bertolak kerumah sakit Gunung Jati untuk meminta kepastian dengan membawa barang-barang yang mungkin diperlukan selama dirumah sakit. Yang anehnya ia juga membawa tapi (sewet) yang selain biasa digunakan oleh ibu-ibu guna menimang-nimang anak kecil, benda itu juga bisa dijadikan penutup sementara untuk orang yang baru saja menghembuskan nafas terakhirnya. Ya sejak hari itu juga ia dinyatakan menginap terlebih dulu diruang khusus untuk pasien-pasien yang akan menjalani operasi. Ruangan mereka dikhususkan, dikarenakan untuk mengetahui dan memudahkan para dokter mengontrol kondisi pasien apakah sudah memenuhi syarat dilakukannya operasi atau belum. Sejak saat itu, hari itu juga, mbak Puji menemani beliau disiang hari dan mamo berganti menemaninya pada malam hari. Maka jadilah aku dan adikku hanya berdua satu rumah. Entah malam apa itu, adikku sudah tertidur lelap dan aku mematung di depan TV merasakan sepinya rumah hingga merasakan seakan-akan telah kehilangan sesuatu yang amat berharga dalam hidupku. Aku tak bisa membayangkan saat itu jika ibu dipanggil untuk selama-lamanya dan tak terasa akibat pikiran negatif yang menjalar kemana-mana itu membuat airmataku menetes cukup deras dan tersedu-sedu. Langsung saja ku hapus airmataku dan segera berusaha menghilangkan pikiran dan dugaan-dugaan negatif itu. entah apa yang kurasa, saat itu aku merasa kosong sekali rumah dan hati ini serta merasa kehilangan ibu, padahal dia sebenarnya hanya berada ditempat lain, yaitu rumah sakit.
Dan jumat pagi itu.. entah jam berapa tepatnya aku tak begitu ingat, ia akhirnya dibawa kerumah sakit untuk memastikan jadwal operasinya. Dengan diantar mbak Puji (mantan tunangan kakak) ia bertolak kerumah sakit Gunung Jati untuk meminta kepastian dengan membawa barang-barang yang mungkin diperlukan selama dirumah sakit. Yang anehnya ia juga membawa tapi (sewet) yang selain biasa digunakan oleh ibu-ibu guna menimang-nimang anak kecil, benda itu juga bisa dijadikan penutup sementara untuk orang yang baru saja menghembuskan nafas terakhirnya. Ya sejak hari itu juga ia dinyatakan menginap terlebih dulu diruang khusus untuk pasien-pasien yang akan menjalani operasi. Ruangan mereka dikhususkan, dikarenakan untuk mengetahui dan memudahkan para dokter mengontrol kondisi pasien apakah sudah memenuhi syarat dilakukannya operasi atau belum. Sejak saat itu, hari itu juga, mbak Puji menemani beliau disiang hari dan mamo berganti menemaninya pada malam hari. Maka jadilah aku dan adikku hanya berdua satu rumah. Entah malam apa itu, adikku sudah tertidur lelap dan aku mematung di depan TV merasakan sepinya rumah hingga merasakan seakan-akan telah kehilangan sesuatu yang amat berharga dalam hidupku. Aku tak bisa membayangkan saat itu jika ibu dipanggil untuk selama-lamanya dan tak terasa akibat pikiran negatif yang menjalar kemana-mana itu membuat airmataku menetes cukup deras dan tersedu-sedu. Langsung saja ku hapus airmataku dan segera berusaha menghilangkan pikiran dan dugaan-dugaan negatif itu. entah apa yang kurasa, saat itu aku merasa kosong sekali rumah dan hati ini serta merasa kehilangan ibu, padahal dia sebenarnya hanya berada ditempat lain, yaitu rumah sakit.
Malam minggu ku meminta antar teman untuk mengantarku ke
Desa Lurah rumah salah satu temanku ketika di Sekolah Menengah Pertama sekaligus
teman MA ku guna membayar uang reuni kelas IX F SMPN 1 Plumbon angkatan kami. “Aku
akan datang dalam acara reuni itu,” terangku kepadanya setelah sampai dan bertemu
dengannya sembari menyerahkan uang sebesar 15000 sebagai biaya yang harus
dikeluarkan untuk membantu mensukseskan acara tersebut.
Hari minggu, Halimah dan Sarif (teman MA), datang bertamu
kerumah dan kami pun berbincang-bincang diruang tamu. Tiba-tiba ang neng
menghampiriku dan berkata dengan agak membingungkanku bahwasannya mimi akan
dioperasi besok pagi pada hari senin tanggal 12 Mei 2014. Sontak saja aku kaget
karena dia juga menyuruhku untuk mencari pendonor darah yang bergolongan darah
AB. Aku B, Sarif O dan Halimah AB. Syukurlah ada juga diantara kami yang
bergolongan darah sama dengan ibu. Aku juga meminta Halimah supaya bertanya
kepada sanak saudaranya siapa lagi yang memiliki gol.dar AB. Akupun dengan
segera “share” dengan isi meminta
bantuan tersebut lewat sosmed yang aku miliki pada saat itu. aku pun lagsung
meminta Sarif dan Halimah untuk menemui Unul guna menjadi teman jalanku selama
kerumah sakit dan mencari-cari gol.dar. karena tak mungkin kami satu motor
bertiga dengan arah kota. Akhirnya kami pun menemui rumahnya padahal sebelumnya
kami belum pernah tahu sama sekali rumah Unul yang lucunya lagi dia ternyata
satu blok denganku. Kami memanggil-manggil dari luar, mengetuk pintu, mencoba
sms dan meneleponnya namun tiada jawaban juga yang kami dapat. Akhirnya kami
pun menyerah dan menuju kerumah Halimah. Belum terlalu lama kami sampai dirumah
Halimah, Unul pun datang. Akhirnya aku berboncengan dengannya dan Halimah dengan
Sarif. Kami pun kerumah sakit bersama-sama.
Sesampainya dirumah sakit, suster meminta kami untuk
diperiksa terlebih dulu ke PMI dekat rumah sakit itu. dengan berharap, ada dari
kami yang bisa menjadi pendonor untuk ibuku. Aku jelas tidak cocok, begitu juga
dengan Sarif, ternyata Unul pun tak sama dengan gol.dar ibu. Satu-satunya
harapan adalah Halimah. Yap, dia memang mempunyai golongan darah yang sama
dengan ibu, yaitu AB. Namun sayang
sekali Halimah tak memenuhi syarat
sebagai pendonor karena berat badannya kurang dari ketentuan yang disyaratkan
oleh PMI. Ya Tuhan, bagaimana ini satupun dari kami tak ada yang cocok untuk
menjadi pendonor. Akhirnya pak Ubed (Guru kami di MA) memberi saran. Hari itu
juga kami pun berkeliling dan mencari gol.dar di PMI yang lain yakni di Tuparev
sesuai yang ditunjukkan olehnya. Sesampai ditempat, kami pun menunggu cukup
lama. Ternyata ada sesuatu yang tertinggal dirumah sakit. Akhirnya Sarif dan
Unul pun kembali kerumah sakit. Jarak rumah sakit_PMI Tuparev sendiri lumayan
menyita waktu. Aku, Halimah, Pak Ubed, beserta istri dan anaknya harap-harap
cemas sambil menunggu keputusan dari PMI adakah gol.dar yang kami minta itu.
Akhirnya cukup lama menunggu, akhirnya kami dapat informasi bahwa gol.dar yang
dicari ada, hanya saja kurang dari apa yang kami minta. Namun petugas PMI
menenangkan bahwa biasanya ada gol.dar yang masuk kepada mereka dan kami pun tak
bisa memperoleh malam itu juga, disuruhnya kami kembali besok pagi-pagi sekali
untuk mengambilnya. Ya aku faham dan kami pun pulang. Namun bukan langsung
pulang kerumah masing-masing, Pak Ubed mengajak kami makan malam dirumahnya
yang sebenarnya sudah tidak tepat lagi disebut makan malam mengingat malam itu
sudah larut sekali. Untuk menolak pun kami tak kuasa. Akhirnya aku, Halimah,
Sarif dan Unul pun memenuhi ajakannya. Seusai makan malam, kami pamit pulang
karena waktu sudah semakin larut. Dan benar saja sesampainya dirumah aku pun
dapat sms yang tak mengenakkan hati karena dituduh yang bukan-bukan oleh mbak
Puji.tapi yasudahlah dia juga tidak tahu apa yang sebenarnya aku lakukan di
luar sana, oleh karena itu aku pun tak menggubrisnya.
Paginya...... Senin 12 Mei 2014..
Masih sangat pagi sekali, aku, Mbak Puji dan adikku Dimas
segera bersiap-siap untuk kerumah sakit. Karena hari ini adalah jadwal ibu akan
dioperasi. Aku, Mbak Puji dan Dimas adikku menunggu untuk waktu yang cukup lama
dan ternyata pintu nya tidak akan di buka kecuali hanya untuk satu orang.
Hmm... kami pun punya ide. Dibantu dengan mamo, akhirnya kami lewat belakang
ruang isolasi itu, kami pun memanjat dinding yang cukup tinggi dan itu adalah
kali pertamanya seorang Alfiyah memanjat layaknya tokoh hero yang sering kita
lihat di film-film yakni spiderman atau sejenisnya. Dan segala puji Allah kami
bertiga berhasil juga melewati dinding tersebut dan telah sampai diruangan
dimana ibuku dirawat. Aku galau, gelisah karena hari ini adalah acara reuni
dengan teman semasa sekolah di SMP tapi hari ini juga adalah hari dimana ibuku
akan menjalani operasi. Aku mengutarakan unek-unek dan yang menjadi
pengganjalku sedari tadi itu ke mamo. Dan kata beliau, “apa kamu dengan tega
meninggalkan kami dalam keadaan seperti ini terutama ibumu yang akan dioperasi
hari ini dan lebih mementingkan acaramu itu?” spontan saja aku menggelengkan kepala dan
berbulat tekad akan tetap berada di sini, di rumah sakit ini. Namun saat itu
sungguh masih dangkalnya pemikiranku hingga sempat memikirkan sejumlah uang
yang tak seberapa yang telah ku serahkan pada waktu malam itu. mamoku kembali
berkata: “ikhlaskanlah.” Aku pun
mengiyakan. Jam 9 pun lewat, “loh kenapa gak muncul-muncul juga ya team
dokternya?” gumamku. “Jadwal operasi bukannya jam 9 pagi hari ini?” tanyaku. Kami tetap sabar menunggu dan pada
akhirnya waktu telah menunjukkan jam shalat dzuhur. Mamo dapat panggilan
bahwasannya operasi tidak bisa dilakukan hari ini dan diundur hingga hari rabu
pagi dengan jam yang sama dengan alasan ada alat yang tumpul dan harus cari
penggantinya terlebih dulu. Ya Tuhan,, apa ini?? Aku sudah membatalkan acaraku
dengan teman-teman namun operasi ibu pun tak bisa dilakukan pada hari ini juga.
Aku dan mamo pulang dan tetap tinggallah Dimas di rumah sakit bersama Mbak
Puji. Dalam perjalanan pulang, aku diperbolehkan ikut acara reuni itu tapi aku
sudah tak berambisi lagi untuk gabung dalam acara tersebut dan aku pun
memutuskan untuk pulang kerumah saja.
Pagi Rabu, 14 Mei 2014.......
Seperti yang telah dijanjikan, jam 09.00 ibuku akan menjalani operasi. Tepat
sebelum jam 09.00, tim dokter menghampiri ruangan ibu dan bertanya padanya apa
ia sudah siap untuk operasi atau belum. Ibuku siap mengiyakan. Aku, mamo dan
Mbak Puji mengikutinya dari belakang. Dan sesampainya diruang yang mengerikan
itu ibuku beranjak turun dan berdiri untuk mengganti pakaian sendiri, berganti
pakaian khusus yang dikenakan oleh pasien-pasien yang akan menjalani operasi.
Waktu shalat dzuhur pun datang, aku mencari-cari tempat
shalat disekitar rumah sakit dan rumah sakit Gunung Jati ternyata memiliki
masjid cukup luas namun terletak cukup jauh dari ruang operasi. Aku pun
berjalan menyusuri lorong-lorong rumah sakit seorang diri. Sebenarnya rumah
sakit ini cukup ramai, tapi entah mengapa hatiku terasa kosong dan hampa sekali
terlebih lagi saat harus melewati kamar jenazah yang ada dirumah sakit
tersebut. Aku semakin merasa sepi dan ngeri sendiri. Tak bisa membayangkan bila
akhirnya ibuku akan terbujur kaku seperti mereka. Tidak, aku tidak bisa
terus-terusan berpikir negatif seperti itu. sampailah aku disebuah masjid yang cukup
untukku menunaikan ibadah shalat dzuhur dan pada saat aku sampai sudah ada
beberapa orang ditempat itu. selama aku menunaikan shalat, sungguh hati ini
terasa kosong sekali dan hanya kepikiran ibuku. Dalam doa ku meminta agar
operasi ibu berjalan lancar dan tentu saja memohon agar ia bisa sembuh kembali seperti
sedia kala. Ku aminkan doa itu kemudian beranjak pergi keruang tunggu operasi
lagi bersama Mbak Puji.
Mbak Puji membeli beberapa minuman kaleng dan beberapa
kue setengah basah. Ku ambil risoles dan saat hendak membukanya, steplesnya
melukai ibu jariku dan membuatnya sedikit berdarah tapi aku tak mempunyai
firasat apapun pada saat itu. tanpa ampun waktu begitu cepat sekali berlalu dan
sekitar pukul 2 siang lebih mamo memberitahu kami bahwa harapan ibu untuk hidup
sangat tipis. Ibu dalam keadaan kritis. Ibu kehilangan banyak darah. Disitu aku
menangis sejadi-jadinya dengan bersandar di pundak Mbk Puji sambil terus berdoa
memohon agar ibu diberi kesempatan untuk sembuh. Setelah guruku datang (Pak
Ubed dan istrinya), langsung saja ku mengikutinya dan melihat ke ruangan itu
ternyata ibu sudah terbujur kaku tak bernyawa. Ku lihat tubuh kekar itu kini
hanya diam tak bergerak, membiru. Ya ibuku meninggal. Ibuku telah ditakdirkan
untuk tenang terlebih dulu di sisi Allah Tuhan yang memiliki segala-Nya. Aku
melihat dari kejauhan dan langsung histeris terkulai lemah hingga hampir saja
tubuhku jatuh kelantai sambil teriak dengan kencang bahwa ibuku tidak
meninggal, dokter pasti salah. “Mana dokter mana, ini tidak benar, dokter
harus periksa ulang. Gak bisa, ibu belum meninggal”. Teriakku seperti dalam
sinetron-sinetron yang ada dilayar kaca atau malah lebih tragis dari itu. Dan
berusaha berontak dari dekapan Wo Pat (Istri uwakku) dan ingin mencari dokter
itu dan menyuruhnya memeriksa ibu kembali. Saat itu, rasa-rasanya sudah tak
terkendali lagi tangisku meledak dan memuncak. Wo Pat dan Bunda Hawa (istri pak
Ubed) berusaha melawanku dan menenangkanku serta menasehatiku bahwa ibu telah
tiada. Mencoba mengikhlaskan. Dengan hati yang amat hancur berantakan dan
airmata yang terus mengalir ku coba untuk membuka mata bahwa ibuku telah
dipanggil oleh-Nya. Oleh yang Maha Memiliki segala. Dengan langkah gontai,
lemah dan lemas aku pun dipapah keluar oleh Wo Pat dan Bunda Hawa. Dan disitu
ku melihat ibuku dibawa menuju ambulans untuk segera dipulangkan kerumah lalu
dikebumikan. Mamo menemani ibu dimobil ambulans, Mbak Puji naik motor dan aku
bersama Pak Ubed beserta keluarganya menaiki mobil sedan yang ia punya.
Sesampainya dirumah ternyata banyak sanak saudara berkerumun menangis tersedu-sedu
yang membuatku tak kuasa untuk menahan airmata ini agar tidak jatuh lagi.
Diruang tamu sudah banyak teman-temanku dari MAN Cirebon 1 tengah mengaji untuk
ibuku yang terbujur kaku ditengah-tengah mereka. Aku pun dengan tetap berusaha
menguatkan diri ikut dalam kerumunan mereka dan kembali menitikan airmata
ketika melihat kenyataan ibu yang kini hanya terbujur kaku pucat pasi tanpa
lagi bisa berbuat apapun. Padahal beberapa jam yang lalu aku masih bisa
melihatnya berbicara, tersenyum bahkan berdiri sendiri untuk mengganti pakaian
itu tapi kini, berbeda jauh sekali dan benar-benar seperti mimpi. Aku merasa
dipukul dengan sebilah rotan dan dengan pukulan terkuat yang pernah ada.
Dicambuk dengan pecutan yang teramat dahsyat, dihantam batu besar yng
dijatuhkan dari ketinggian dan tepat mengenai tubuhku ataukah aku seperti
diterbangkan ke angkasa lalu mendadak dijatuhkan kebumi hingga tubuh dan hatiku
tak merasakan sesuatu apapun lagi selain rasa sakit yang teramat sangat. Saat
pemandian pun hanya aku anaknya yang dapat melihatnya karena memang kakakku
tengah bekerja dinegeri Jiran dan adikku diungsikan kerumah Mi Iti (wak/istri
mamang Nas). Dan mamoku tak berdaya sehingga dia tak kuasa untuk menopang
dirinya dan hanya menangis dirumah bibi Yom (adik Mamo) yang kebetulan rumah
kami bersebelahan. Hingga saat-saat jenazah ibuku dibawa keliang lahat, aku tak
henti-hentinya berharap bahwa ini semua hanyalah mimpi burukku saja. Namun ku
sadar, ini adalah kenyataan hidup yang harus aku lalui. Ku mengikuti dari
belakang bercampur dengan para pengantar jenazah yang lain, aku berjalan
disamping Ras saudaraku dan Halimah temanku. Hari itu sudah gelap dan sudah
isya’ namun proses pemakaman tetap dilangsungkan. Akulah satu-satunya anak
beliau yang mengikuti hingga ketempat bersemayam terakhirnya. Aku pun
menaburkan bunga di atas kuburnya bersama dengan saudara-saudaraku yang lain.
aku tak melihat mamao. Untuk yang terakhir kali, guru ngajiku (Pak Sadun)
menyerahkan air doa yang kemarin aku pinta guna menemani saat-saat pengobatan ibu
pasca operasi. Tapi kini air itu ku siramkan ke atas kuburnya dengan tetap
berusaha untuk tetap tidak menitikan airmata. Saat ku siramkan air itu
perlahan, ternyata ku melihat mamo jauh di sana dengan para pengantar yang lain
tanpa mendekati kami. Aku faham dan mengerti sekali, bahwa mamoku tak sanggup
melihat kenyataan pahit ini sehingga membuatnya hanya menatap dari-kejauhan.
Kami pun pulang, dan mamo meminta Halimah untuk menemaniku disaat-saat seperti
ini namun Halimah pamit pulang dan dia pun pulang kembali kerumahnya. Ku sangat
berterima kasih kepada Halimah temanku, dari hari minngu kamu ikut bersusah
payah menemaniku mencari-cari golongan darah guna untuk berjaga-jaga saat
operasi, hingga proses pemakaman selesai dengan sempurna, kamu setia
menemaniku. Terima kasih Hal, Rif, Nul serta teman-teman yang lain. Terima
kasih doa kalian. Aku takkan lupa akan
kebaikan-kebaikan kalian semua. Terima kasih semuanya ku ucapkan. Ikhlaskanlah
untuk ia yang sudah tenang di Surga..
Komentar
Posting Komentar